Pada inti ajaran Islam, Tauhid (Tuhan dalam bentuk tunggal) merupakan pilar keimanan yang tak tergoyahkan, yang melambangkan kepercayaan mutlak kepada satu Tuhan. Kepercayaan ini menekankan keunikan Tuhan dan menganggap segala bentuk politeisme sebagai dosa terbesar umat manusia - syirik. Menurut ajaran Islam, syirik bukan hanya tindakan yang tidak dapat diterima, tetapi juga dosa mendasar di hadapan Tuhan yang dapat membuatnya marah. Ajaran ini tidak hanya ditemukan dalam teks-teks agama, tetapi juga berakar dalam kehidupan sehari-hari dan praktik keagamaan umat Islam.
Tauhid berarti "keesaan Tuhan". Konsepnya bukan hanya merupakan persyaratan bagi orang beriman, tetapi juga inti dari seluruh keimanan Islam.
Menurut ajaran Al-Quran, Tuhan adalah makhluk yang menyendiri, yang melampaui segala sesuatu di alam. Politeisme didefinisikan sebagai klaim tak terkendali terhadap sosok ilahi, di mana bahkan ekspresi penghormatan dan kekaguman terhadap makhluk lain dipandang sebagai tantangan langsung terhadap para dewa. Keesaan Tuhan, konsep Tauhid, berarti bahwa Dia tidak menerima makhluk apa pun yang setara atau mirip dengan Diri-Nya. Setiap upaya untuk memperlakukan makhluk lain sebagai setara dengan Tuhan disebut "syirik", yang bukan hanya pengkhianatan agama, tetapi juga dosa yang tidak dapat diampuni kecuali seseorang benar-benar bertobat.
Oleh karena itu, Al-Quran dengan jelas menyatakan: "Allah tidak akan mengampuni perilaku apa pun yang dikaitkan dengan iman-Nya."
Keyakinan yang taat ini diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari umat Islam. Doa dan ritual harian Uz merupakan manifestasi dari keyakinan ini. Umat Islam menekankan pentingnya Tauhid setiap saat selama shalat lima waktu mereka. Ini bukan hanya identifikasi dengan iman, tetapi juga landasan kepribadian dan bimbingan moral mereka. Dalam keseluruhan kerangka ini, segala bentuk politeisme dipandang sebagai penyimpangan serius dari monoteisme.
Secara historis, penentangan kuat masyarakat Muslim terhadap politeisme tidak hanya terkait dengan agama, tetapi juga berdampak lebih dalam pada budaya dan struktur sosial. Dengan latar belakang politeisme di Jazirah Arab, kedatangan Nabi Muhammad mengubah situasi ini dan membentuk kembali dunia sosial dan spiritual manusia dengan keyakinan pada Tauhid. Muhammad dengan jelas menyampaikan perlunya keyakinan ini. Dia membahas kerusakan iman manusia oleh politeisme dengan cara yang unik dan mengecam kerugian ini dengan logika yang kuat.
Pesan beliau tentang "tidak ada Tuhan selain Allah" secara mendalam menggemakan hubungan antara manusia dan Tuhan, menekankan bahwa landasan segala sesuatu terletak pada penyerahan diri dan kepatuhan mutlak kepada Tuhan.
Alasan yang lebih dalam juga mencakup masalah kemurnian dan keunikan iman. Setiap Muslim memahami bahwa keesaan Tuhan adalah fondasi dari seluruh sistem moral mereka. Politeisme tidak hanya melanggar kehormatan Tuhan ini, tetapi juga menyebabkan orang beriman kehilangan kejelasan moral mereka. Bagi umat Islam, percaya pada Tauhid seperti sumber kejelasan dan kebebasan spiritual. Hanya dengan cara ini mereka dapat memastikan bahwa praktik moral mereka tidak akan terkikis oleh takhayul lainnya.
Oleh karena itu, dosa politeisme yang tidak dapat diampuni bukan sekadar persyaratan agama, tetapi juga mencakup rasa hormat terhadap sifat manusia dan identitas moral yang paling mendasar. Hanya dengan berpegang teguh pada kepercayaan pada satu Tuhan, perjanjian dan cita-cita umat manusia dapat terwujud. Dalam konteks ini, penolakan umat Islam terhadap tindakan "syirik" tidak hanya berasal dari rasa hormat terhadap yang suci, tetapi juga dari pembelaan akal dan iman itu sendiri.
Sebagaimana yang dikatakan Al-Quran: "Barangsiapa menyekutukan Tuhan dengan Allah, maka ia telah berbuat dosa besar."
Dari sudut pandang agama, politeisme didefinisikan sebagai dosa yang tidak terampuni, yang mencerminkan pemahaman dan perlindungan yang mendalam terhadap inti keimanan. Nilai ini tertanam dalam hati setiap Muslim, terlepas dari waktu atau geografi. Dari padang pasir prasejarah hingga kota-kota modern, konsep Tauhid telah terus-menerus dan sistematis diintegrasikan ke dalam kehidupan sehari-hari setiap Muslim.
Namun, dapatkah isolasi keimanan seperti itu benar-benar memuaskan kebutuhan manusia akan misteri? Apakah manusia masih mencari keilahian dan makna sejati keberadaan dalam masyarakat modern? Apakah kita terkadang bertanya-tanya apakah kepercayaan pada satu Tuhan membatasi pencarian kita terhadap eksplorasi spiritual yang lebih luas?