Devi Rusmin
Crops Research Institute
Network
Latest external collaboration on country level. Dive into details by clicking on the dots.
Publication
Featured researches published by Devi Rusmin.
Buletin Penelitian Tanaman Rempah dan Obat | 2016
Sukarman Sukarman; Devi Rusmin; Melati Melati
Meningkatnya permintaan ekspor yang belum terpenuhi merupakan peluang be-sar untuk pengembangan jahe. Seiring dengan itu, maka diperlukan peningkatan produktivitas dan kualitas jahe yang mampu memenuhi stan-dar ekspor. Budidaya jahe sampai saat ini ma-sih menggunakan benih lokal (belum meng-gunakan varietas unggul) yang menyebabkan produktivitas dan mutu tidak stabil. Untuk mendapatkan varietas unggul harus melalui uji-multilokasi dibeberapa sentra produksi dengan agro ekosistem yang berbeda. Bahan penelitian yang digunakan adalah jahe putih kecil (Ge-notipe C, E, F, G, H, K serta lokal 1 dan 2 se-bagai pembanding) yang terpilih untuk uji mul-tilokasi yang dilakukan di Kabupaten Garut, Majalengka, Sukabumi, Sumedang, pada tahun 2003/2005. Penelitian bertujuan untuk menge-tahui apakah varietas unggul jahe putih kecil yang di uji multilokasi layak dikembangkan se-cara teknis dan menguntungkan secara ekono-mis. Data yang dikumpulkan adalah faktor-fak-tor produksi, produksi dan harga jual. Penda-patan usahatani varietas unggul jahe putih kecil dianalisis dengan analisis pendapatan, sedang-kan kelayakan usahataninya dianalisis melalui pendekatan analisis Net Present Value (NPV), Benefit Cost Ratio (B/C Ratio) dan Internal Rate of Return (IRR). Jahe putih kecil yang te-lah diusulkan sebagai varietas unggul adalah JPK Genotip G untuk produktivitas rimpang di usulkan dengan nama Halina 1 dan JPK Geno-tipe K untuk produktivitas rimpang dan minyak atsiri di usulkan dengan nama Halina 2. Ke dua Genotipe ini dapat dijadikan sebagai varietas unggul, karena adaptif dan stabil di beberapa lokasi pengujian. JPK Genotip G adapatif dan stabil di Garut, Sukabumi dan Sumedang dan JPK Genotip K adaptif dan stabil di Garut, Ma-jalengka dan Sumedang. Hasil analisis finansial menunjukkan, bahwa usahatani varietas unggul JPK Genotip G dan K pada masing-masing lo-kasi, layak dilakukan secara teknis dan meng-untungkan secara ekonomis, hal ini ditunjuk-kan oleh NPV, B/C Ratio dan IRR masing-masing genotip pada tiap lokasi tersebut po-sitif (+), > 1 dan diatas tingkat suku bunga bank yang berlaku. Besarnya pendapatan, NPV; B/C Ratio dan IRR terendah, yaitu JPK Genotip G di Garut, masing-masing Rp 13.480.171,-; Rp 7.091.353,-/ha, 1,18 dan 2%/bulan. Sedangkan yang tertinggi, yaitu pa-da JPK Genotipe K di Sumedang, masing-ma-sing Rp 76.798.127,-; Rp 61.650.361,-/ha, 2,50 dan 11%/bulan. Hasil analisis sensitivi-tas menunjukkan, bahwa JPK Genotipe G di Garut mempunyai harga minimum tertinggi, yaitu Rp 5.294,-/kg (harga aktual Rp 6.000,-/kg) dengan produksi minimum 6.773 kg/ha (produksi aktual 7.677 kg/ha). Sedangkan JPK Genotipe K di Sumedang mempunyai harga minimum terendah, hanya Rp 2.487,- kg/ha (Harga aktual Rp 6.000,-/kg) dengan produksi minimum 6.977 kg/ha (produksi aktual 16.831 kg/ha). Ini berarti, bahwa jika harga dan pro-duksi masing-masing genotipe tersebut lebih rendah dari harga dan produksi minimumnya, maka usahatani masing-masing genotipe pada daerah yang bersangkutan secara finansial rugi. JPK Genotip G dan K layak dilakukan secara teknis dan menguntungkan secara eko-nomis di semua lokasi pengujian (Garut, Ma-jalengka, Sukabumi dan Sumedang), ditinjau dari segi produksi. JPK Genotipe G dan K se-baiknya dikembangkan di daerah Sumedang atau di daerah dengan ketinggian 800 m dpl. Tipe iklim A dan B (schmidt & Ferguson) dan jenis tanah latosol merah sangat gembur, memberikan produksi paling tinggi (10.758,44 dan 11.781,66 kg/ha) dan memberikan penda-patan paling besar (Rp 66.671.450,- dan Rp 76.798.127,-/ha) dengan produksi minimum paling tinggi (6.947 dan 6.977 kg/ha) dan harga minimum paling rendah (Rp 2.712,- dan Rp 2.487,-/kg).Penelitian pengaruh campuran bebe-rapa jenis minyak nabati terhadap daya tangkap lalat buah telah dilakukan di kebun jambu biji di Bogor pada tahun 2006. Penelitian menggu-nakan rancangan acak kelompok dengan dela-pan perlakuan dan diulang empat kali. Perla-kuan terdiri dari minyak nabati : (1) sawit, (2) pala, (3) kayu manis, (4) melaleuca, (5) mela-leuca + sawit (1:1), (6) melaleuca + pala (1:1), (7) melaleuca + kayu manis (1:1) dan (8) atrak-tan pembanding Hogy yang sudah beredar di pasaran. Minyak melaleuca yang dihasilkan da-ri penyulingan daun Melaleuca bracteata me-ngandung metil eugenol 80%, sedangkan Hogy mengandung metil eugenol 75%. Perlakuan de-ngan cara meneteskan minyak sebanyak 1 ml pada kapas yang diletakkan di dalam perang-kap lalat. Perangkap lalat dibuat dari botol mi-numan air mineral (600 ml) dan digantungkan pada pohon jambu biji setinggi sekitar 2 m di atas permukaan tanah. Pengamatan dilakukan setiap minggu selama empat minggu terhadap jumlah, jenis dan kelamin lalat buah yang ter-perangkap. Hasil penelitian menunjukkan bah-wa minyak nabati pala dan sawit merupakan bahan yang baik untuk dicampurkan dengan minyak melaleuca, hal ini ditunjukkan oleh ha-sil tangkapan yang lebih baik bila dibanding-kan dengan atraktan pembanding Hogy, walau-pun kandungan metil eugenolnya (40%) lebih rendah dibanding Hogy (75%). Minyak nabati kayu manis merupakan bahan yang bersifat an-tagonis bila dicampur melaleuca, hal ini ditun-jukkan oleh hasil tangkapan yang rendah. Mi-nyak pala mampu berperan sebagai atraktan la-lat buah, walaupun daya tangkapnya rendah.Effects of Indole Butyric Acid and Naphtaleine Acetic Acid on the root-induction of pyrethrum [Chrysanthemum cinerariifolium ( Trevir.)Vis .] clone Prau 6 in vitro Pyrethrum is one of botanical pesti-cides producing plant that has beneficial va-lue to be improved as the substitution of syn-thetic pesticide, which is considered to be harmful for both of human and environment. In order to obtain a sufficient planting mate-rial, in vitro propagation had been performed. Rooted-shoots derived from in vitro cultured adapted better than that of un-rooted one, when transplanted into the field (acclima-tization). Therefore, in this research root in-duction of pyrethrum clone Prau 6-in vitro-shoots were conducted by applying Indole Butyric Acid (IBA) and Naphtaleine Acetic Acid (NAA). Experiment was arranged in a single factor Completely Randomized Design with 10 replications. The treatment tested was an application of synthetic auxins (IBA or NAA) into MS medium in 5 different level of concentrations (0.2; 0.4; 0.6; 0.8; 1.0 mg/l), and control (without auxin). The parameters observed were time to root-initiation, number and length of root, and root characteristic, at 6 weeks after subcultured. The results showed that application of IBA or NAA into MS me-dium significantly affected to the root initia-tion time, number of root, length and charac-teristic of the root, 6 weeks after subcultured. Induced-root on the medium containing 0.2 mg/l IBA showed a better characteristic as compared to others treatments with rounded-form, shorter initiation time (12.5 days), large amount of root (14.1) and longer (1.47 cm).
Buletin Penelitian Tanaman Rempah dan Obat | 2017
Devi Rusmin; Maharani Hasanah
Percobaanyang bertujuan untuk memecahkan masalah benih keras (“hard seed”) dilaksanakan di Laboratorium Fisiologi Balai Penelitian tanaman Rempah dan Obat Bogor, mulai bulan September 1993 sampai Januari 1994. Untuk mencapai tujuan tersebut telah dilaksanakan tiga tahap percobaan dengan Rancangan Acak Lengkap. Percobaan tahap pertama menguji peretakan kulit benih yang terdiri atas 6 perlakuan dan 3 ulangan, yaitu; a) kontrol, b) pengeringan-perendaman-pengeringan, c) perendaman-pengeringan-perendaman, d) pengeringan 3 hari, e) pengampelasan, f) pengampelasan + KNO, 0.2%. hasil percobaan menunjukkan bahwa perlakuan perendaman-pengeringan-perendaman, pengampelasan dan pengampelasan + KNO 0.2% menghasilkan daya berkecambah dan kekuatan tumbuh benih yang tertinggiwalaupun tidak berbeda nyata dengan kontrol. Percobaan tahap kedua adalah menguji pelunakan kulit benih dari 2 lot umur benih ( 0 dan 2 bulan disimpan) yang diberi perlakuan pelembaban pada suhu 280C, perendaman dalam air 500C, 600C, 700C, dan 800C. hasil penelitian menunjukkan bahwa interaksi antara umur benih 0 bulan dengan perlakuan perendaman dengan suhu 500C dan 600C menghasilkan daya berkecambah yang tertinggi. Percobaan tahap ketiga terdiri atas 5 perlakuan dan 3 ulangan, yaitu kontrol, benih tanpa kulit, benih utuh direndam dalam air suhu 280C, 24, 48 dan 72 jam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan pembuangan kulit benih mempunyai daya berkecambah dan kecepatan tumbuh yang tertinggi.
Buletin Penelitian Tanaman Rempah dan Obat | 2016
Sukarman Sukarman; Mono Rahardjo; Devi Rusmin; Melati Melati
Efektifitas serai wangi ( Cymbopogon nar-dus ) terhadap hama pengisap buah kakao Helopeltis antonii (Hemiptera;Miridae), te-lah dilakukan di Laboratorium KP. Laing Solok Sumatera Barat, sejak Juni sampai Desember 2008. Percobaan bertujuan un-tuk melihat pengaruh rajangan daun, se-nyawa volatile minyak serai wangi dan fraksi minyak serai wangi ( sitronella ) ter-hadap hama pengisap buah kakao. Perco-baan disusun dalam bentuk rancangan acak lengkap 12 perlakuan dengan 3 ulangan, perlakuan tersebut adalah rajang-an daun serai wangi (15, 25, dan 50 g)/ta-bung, minyak serai wangi dan fraksi sitro-nellal (0,10, 0,20, 0,30, dan 0,50 ml)/ta-bung. Selain itu efektifitas minyak serai wangi dan fraksi sitronellal juga diuji ter-hadap hama H. antonii dengan cara sem-prot. Percobaan disusun dalam bentuk acak lengkap 9 perlakuan dengan 3 ulang-an, konsentrasi yang diuji adalah (500, 1.000, 2.000 dan 4.000 ppm). Hasil pene-litian menunjukkan bahwa rajangan daun serai wangi 50 g/tabung memperlihatkan sifat menolak ( repelen ) terhadap serang-ga H. antonii dengan persentase rendah yaitu 53,33%, demikian juga pengaruh dari minyak serai wangi dan fraksi sitro-nellal pada dosis 0,1 ml/tabung, dengan persentase penolakan berkisar antara 53,33-73,33%. Pada dosis 0,30 ml/tabung pestisida nabati serai wangi bersifat mem-bunuh (insektisida), dengan persentase kematian serangga H. antonii 76,67% (mi-nyak serai wangi) dan 80% (fraksi sitro-nella). Penyemprotan minyak serai wangi dan fraksi sitronellal pada konsentrasi 2.000 ppm mampu membunuh serangga H. antonii 91,62%, sedangkan pada kon-sentrasi 4.000 ppm mencapai 100%.Bioassay beberapa minyak tanaman obat dan aromatik sebagai bahan aktif insekti-sida nabati untuk mengendalikan Dicono-coris hewetti . Penelitian dilakukan di Rumah Kaca Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Propinsi Bangka Belitung sejak April sampai Nopember 2009. Minyak atsiri diformulasikan menjadi insektisida nabati dengan mencampurkan 3 bagian minyak dengan 6,5 bagian etanol dan 0,5 bagian sabun sebagai emulsifier. Formula selan-jutnya dilarutkan dengan air sehingga di-peroleh konsentrasi uji yang diinginkan. Bioassay dilakukan dalam 3 tahapan ke-giatan . Pada tahap pertama formula ber-bahan aktif 1 jenis minyak atsiri diuji pada konsentrasi 10%. Formula yang mampu membunuh >80% serangga dilakukan uji lanjutan pada konsentrasi 5 dan 2,5%. Dua jenis minyak yang paling toksik diuji pada konsentrasi 2,5% dalam bentuk tunggal dan gabungan/kombinasi dengan komposisi 1:1, 1:2, dan 2:1. Aplikasi dila-kukan dengan meneteskan 1,5 µl larutan uji ke toraks serangga dengan mengguna-kan mikro pipet. Setiap perlakuan diulang 3 kali dan setiap ulangan menggunakan 10 ekor serangga uji yang dipelihara di dalam cawan petri berisi bunga lada. Pengamatan dilakukan setiap 24 jam terhadap kematian serangga uji sampai tidak ada peningkatan kematian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa minyak lengkuas dan serai wangi paling efektif dipergunakan sebagai ba-han aktif insektisida nabati. Kedua minyak tersebut bersifat sinergis sehingga bila di-gunakan secara bersama-sama mampu meningkatkan toksisitas insektisida. Kom-binasi yang paling efektif adalah 1:1, pa-da 48 jam setelah perlakuan mampu mengendalikan 82% serangga uji.Efisiensi penggunaan benih temulawak ( Curcuma xanthorrhiza ), beberapa bagian rimpang dan ukurannya diuji dalam pene-litian ini. Penelitian bertujuan untuk mem-pelajari pengaruh ukuran benih (rimpang) terhadap pertumbuhan dan hasil te-mulawak. Penelitian dilakukan di Kebun Percobaan (KP) Sukamulya, Balai Peneliti-an Tanaman Rempah dan Aneka Tanaman Industri (Balittri) sejak November 2007 sampai Agustus 2008. Percobaan dengan lima perlakuan dan lima ulangan disusun dalam rancangan acak kelompok (RAK). Perlakuan yang diuji adalah lima taraf asal benih (rimpang) yaitu : (1) rimpang induk utuh (220,5 g), (2) rimpang induk dibelah 2 (109,7 g), (3) rimpang induk dibelah 4 (54,36 g), (4) rimpang induk dibelah 8 (27,29 g), dan (5) rimpang cabang (22,01 g). Peubah yang diamati adalah pertum-buhan tanaman, komponen hasil (jumlah dan bobot rimpang induk serta rimpang cabang, dan hasil). Hasil penelitian me-nunjukkan tanaman berasal dari rimpang induk menghasilkan rimpang segar terting-gi (27,2 t/ha), dan tidak berbeda nyata de-ngan produksi tanaman yang dihasilkan dari rimpang induk dibelah dua (24,2 t/ ha). Untuk efisiensi benih maka rimpang induk dibelah dua dapat dijadikan alterna-tif sebagai bahan tanaman dalam budidaya temulawak.
Jurnal Penelitian Tanaman Industri (Industrial Crops Research Journal) | 2017
Sukarman Sukarman; I. Darwati; Devi Rusmin
Jurnal Penelitian Tanaman Industri (Industrial Crops Research Journal) | 2017
Devi Rusmin; Sukarman; Melati; Maharani Hasanah
Buletin Penelitian Tanaman Rempah dan Obat | 2017
Moh. Ismail Wahab; Devi Rusmin; Maharani Hasanah
Buletin Penelitian Tanaman Rempah dan Obat | 2017
Maharani Hasanah; Devi Rusmin
Indonesian Journal of Agricultural Science | 2013
Maharani Hasanah; Sukarman Sukarman; Devi Rusmin
Jurnal Penelitian Tanaman Industri (Industrial Crops Research Journal) | 2008
Melati Melati; Devi Rusmin
Jurnal Penelitian Tanaman Industri (Industrial Crops Research Journal) | 2008
Sukarman Sukarman; Devi Rusmin; Melati Melati