Seiring dengan terus meningkatnya permintaan global akan dokter, masalah kekurangan dokter telah menarik perhatian luas. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia, dunia menghadapi kekurangan 4,3 juta tenaga kesehatan. Mengingat hal ini, banyak orang percaya bahwa memperluas jumlah penerimaan sekolah kedokteran atau mendirikan lebih banyak sekolah kedokteran akan menjadi cara yang efektif untuk mengatasi masalah ini. Namun, dapatkah sekadar meningkatkan jumlah mahasiswa kedokteran benar-benar mengubah keseimbangan antara penawaran dan permintaan layanan medis secara mendasar?
Pasokan dokter terutama bergantung pada jumlah lulusan sekolah kedokteran di suatu negara atau wilayah dan jumlah dokter yang masih memilih untuk tetap bekerja di bidang medis.
Kekurangan dokter semakin meningkat di banyak negara, terutama di daerah pedesaan dan berkembang yang memiliki lebih sedikit fasilitas medis dan sumber daya medis yang terbatas. Misalnya, di Amerika Serikat, banyak daerah telah melaporkan kekurangan dokter, termasuk daerah dengan pertumbuhan tinggi seperti Phoenix, Arizona. Bahkan jika jumlah lulusan sekolah kedokteran meningkat, hal itu masih belum dapat sepenuhnya memenuhi permintaan layanan medis.
Ketersediaan dokter bergantung pada berbagai faktor, termasuk demografi lokal, kondisi ekonomi, dan kebijakan kesehatan. Terutama di negara-negara berkembang, pasokan dokter lebih sulit karena terbatasnya jumlah sekolah kedokteran dan masalah kehilangan dokter. Bahkan di wilayah yang secara ekonomi maju, pasokan sumber daya manusia dokter dapat menurun karena faktor-faktor lain, seperti dokter yang pensiun, berganti karier, atau beremigrasi ke negara lain untuk mencari peluang kerja yang lebih baik.
Di banyak negara, pendaftaran sekolah kedokteran terbatas sebagian karena kurangnya fakultas dan dana, dan sebagian karena kendala pemerintah dalam mengalokasikan sumber daya untuk pendidikan kedokteran.
Meskipun memperluas pendaftaran sekolah kedokteran mungkin tampak seperti solusi yang mudah, hal ini menghadirkan banyak tantangan. Mahasiswa kedokteran perlu menyelesaikan studi bertahun-tahun sebelum mereka dapat menjadi dokter yang berkualifikasi. Oleh karena itu, kekurangan dalam sistem pendidikan, seperti persentase mahasiswa yang putus sekolah menengah atau tidak lulus dari perguruan tinggi, akan secara langsung memengaruhi jumlah mahasiswa yang dapat diterima sekolah kedokteran. Selain itu, kendala finansial mencegah banyak calon mahasiswa kedokteran untuk mendaftar, karena pendidikan kedokteran relatif mahal.
Permintaan akan dokter bergantung pada kebijakan kesehatan setempat dan kesehatan penduduk. Misalnya, seiring bertambahnya usia, permintaan akan layanan medis pun meningkat. Menurut rekomendasi WHO, negara-negara maju harus memiliki setidaknya satu dokter perawatan primer per seribu orang untuk memenuhi kebutuhan medis dasar. Rasio ini belum tercapai di banyak tempat, terutama di negara-negara yang menghadapi tantangan penuaan.
Dampak dari kekurangan dokter meliputi kualitas medis yang menurun, waktu tunggu pasien yang lebih lama, dan beberapa pasien tidak dapat memperoleh layanan medis yang diperlukan secara tepat waktu.
Menanggapi masalah kekurangan dokter, berbagai solusi telah diusulkan, termasuk menambah lebih banyak sekolah kedokteran, membuat pendidikan kedokteran lebih menarik, meningkatkan lingkungan kerja dokter, dan meningkatkan gaji mereka. Selain itu, memanfaatkan tenaga perawat dan profesional medis lainnya untuk berbagi beban kerja dokter juga merupakan arah yang sedang dibahas saat ini.
Namun, jalan untuk mengatasi kekurangan dokter tidaklah sederhana, dan banyak orang memiliki keraguan tentang peningkatan jumlah mahasiswa kedokteran. Mereka percaya bahwa kualitas keseluruhan sistem pendidikan dan efektivitas kebijakan medis juga merupakan faktor mendasar yang membatasi pasokan dokter. Apakah ini berarti bahwa peningkatan jumlah mahasiswa kedokteran hanyalah solusi jangka pendek, bukan strategi respons jangka panjang yang diperlukan?