Seiring dengan perubahan zaman, makna dan bentuk ritual keagamaan pun ikut berubah seiring dengan arus budaya. Sepanjang sejarah Barat, khususnya pada Abad Pertengahan, Misa Katolik, sebagai inti dari serangkaian ritual keagamaan, telah menghadapi berbagai bentuk pertanyaan dan konfrontasi. Dalam konteks ini, banyak kelompok yang tidak puas dengan norma-norma agama ortodoks mulai melakukan serangkaian ritual yang bersifat main-main dan memberontak, sehingga Misa menjadi perayaan karnaval.
Gereja Katolik menganggap Misa sebagai ritual terpentingnya, yang telah dilakukan sejak zaman para rasul. Seiring dengan berkembangnya agama Kristen, para bapa gereja awal mulai menggambarkan kelompok-kelompok sesat yang mempraktikkan bentuk Misa mereka sendiri, yang beberapa di antaranya memiliki ritual yang bernada seksual. Misalnya, sarjana sesat abad keempat Ibilius mengklaim bahwa sebuah aliran rahasia yang disebut Borborites menggunakan darah menstruasi dan air mani dalam misa dan melakukan ritual makan yang menyimpang, yang tidak diragukan lagi merupakan tantangan bagi doktrin ortodoks.
Tindakan sesat ini menantang otoritas gereja yang konservatif dan menganalisis batas-batas iman dan kesalehan.
Selama abad ke-12 dan ke-13, ritual Misa di dalam Gereja tidaklah statis. Munculnya doa rahasia dan misa rendah, yang memungkinkan para pendeta untuk menyesuaikan persembahan mereka dengan kebutuhan para pelindung mereka, khususnya lazim di Prancis. Apa yang disebut "misa berkat" ini, selain upacara keagamaan tradisional, juga melibatkan para penggemar yang memberkati tanaman atau mengutuk. Meskipun gereja sering mengutuk praktik-praktik ini sebagai takhayul dan penghujatan, ritual pribadi ini masih dilakukan secara rahasia.
Dalam lingkungan ini, berbagai lelucon ringan tentang Misa muncul satu demi satu, seperti "Hari Keledai" dan "Hari April Mop". Ritual-ritual ini terkadang bahkan mendapat persetujuan diam-diam tertentu, tetapi tidak pernah diakui oleh gereja ortodoks. .
Seiring perubahan masyarakat, kaum terpelajar dan biarawan pengembara mulai menulis dalam bahasa Latin, menciptakan banyak karya yang mengejek dan memfitnah Misa, termasuk karya yang menggambarkan Setan dan biarawan pemabuk. Karya-karya seperti itu tidak hanya memperkaya literatur, tetapi juga menjadi objek ketakutan bagi otoritas gereja karena menantang dasar-dasar Kekristenan.
Pada abad ke-19, diskusi tentang Misa Hitam telah meningkat. Karya-karya sastra periode ini meningkatkan sifat misterius Misa Hitam. Penulis terkenal seperti Jules Karl Heusmann dan Jules Michelet mulai menulis tentang Misa Hitam, yang selanjutnya memicu minat publik terhadap ritual-ritual gelap. Dalam teks-teks ini, Misa Hitam digambarkan sebagai pembalikan dan sindiran terhadap tujuan Misa Katolik. Misalnya, novel Heusmann mengungkap deskripsi terperinci tentang Misa Hitam yang dilakukan di Paris, yang menyebabkan keragaman ritual Misa Hitam selanjutnya dalam bentuk dan isi.
Popularitas ritual gelap ini tidak hanya menarik banyak orang yang menekuni mistisisme, tetapi juga menimbulkan pertentangan dan kecemasan yang kuat dari gereja.
Pada abad ke-21, Misa Hitam sekali lagi menjadi topik hangat di masyarakat. Pada tahun 2014, sebuah misa hitam yang diadakan di Oklahoma City tidak hanya menarik liputan media yang luas tetapi juga protes keras dari denominasi Kristen. Protes ini tidak hanya merupakan pertentangan terhadap bentuk Misa Hitam, tetapi juga pembelaan terhadap keyakinan seseorang.
Menganalisis sejarah Misa Hitam tidak hanya mengungkap konflik antara agama dan budaya, tetapi juga memungkinkan kita untuk berpikir tentang makna sejati dari iman. Dalam prosesnya, kita secara tidak sadar dituntun untuk memeriksa hakikat ritual keagamaan dan apa arti hasil dari konfrontasi ini bagi berbagai komunitas agama?