Sarkoma sel dendritik folikular (FDCS) merupakan tumor yang sangat langka. Meskipun Lennert telah meramalkan keberadaan tumor FDC sejak tahun 1978, tumor ini tidak sepenuhnya diakui sebagai kanker independen hingga karakterisasinya yang terperinci oleh Monda et al. pada tahun 1986. FDCS hanya mencakup 0,4% dari sarkoma jaringan lunak, tetapi memiliki potensi kekambuhan dan metastasis yang signifikan dan dianggap sebagai kanker yang cukup ganas. Kendala utama dalam mengobati FDCS adalah kesulitan diagnosis.
Karena adanya kesamaan manifestasi klinis dan penanda antara FDCS dan limfoma Hodgkin serta limfoma non-Hodgkin, proses diagnostik FDCS cukup rumit.
Sel dendritik folikular sebagian besar terletak di pusat germinal folikel limfoid dan berperan penting dalam mengatur reaksi pusat germinal dan menyajikan antigen ke sel B. Sebagian besar kasus FDCS terjadi di kelenjar getah bening, tetapi sekitar 30% kasus terjadi di lokasi ekstralimfatik. Tinjauan retrospektif tahun 1998 terhadap 51 pasien dengan FDCS tidak menemukan pola yang jelas dalam usia, jenis kelamin, ras, atau manifestasi klinis.
Di antara 51 pasien, usia rata-rata adalah 41 tahun (kisaran, 14 hingga 76 tahun), dan sebagian besar kasus melibatkan limfadenopati di leher dan ketiak, dengan 17 kasus terjadi di lokasi ekstralimfatik seperti hati, limpa, usus, dan pankreas.
Meskipun FDCS telah diakui sebagai penyakit independen sejak tahun 1986, penyakit ini masih menghadapi tantangan diagnostik. Bentuk sel FDCS yang besar dan berinti dua membuatnya sulit dibedakan dari limfosit selama pewarnaan. Cara terbaik untuk mengidentifikasi adalah melalui teknologi imunopewarnaan, menggunakan penanda FDC seperti CD21 dan CD35.
Dengan ditemukannya FDCS, hanya ada sedikit preseden untuk efektivitas kemoterapi dan radioterapi. Metode pengobatan awal sebagian besar adalah reseksi bedah lengkap atau radioterapi, tetapi kemudian ditemukan bahwa efek pengobatan tidak konsisten. Oleh karena itu, dokter mulai mengobati FDCS menggunakan rejimen kemoterapi CHOP yang digunakan untuk kanker lainnya. Terapi CHOP terdiri dari siklofosfamid, doksorubisin, steroid, dan steroid, tetapi kemanjurannya pada pasien dengan FDCS masih belum terjamin.
Dengan pemahaman mendalam tentang biologi kanker, pengobatan baru untuk FDCS terus diperkenalkan, terutama munculnya liposom PEG.
Pengembangan liposom PEG telah sangat meningkatkan efisiensi pengiriman doksorubisin. Metode ini memanfaatkan permeabilitas vaskular tumor dan karakteristik pembuluh darah baru untuk memungkinkan liposom PEG terakumulasi secara alami di lokasi tumor, mengurangi dosis dan efek samping, dan diharapkan menjadi pilihan baru untuk pengobatan FDCS.
Dalam beberapa tahun terakhir, obat kemoterapi baru seperti TAXOTERE dan Gemcitabine juga mulai digunakan dalam pengobatan FDCS. Dampaknya terhadap sel kanker telah meningkat secara signifikan dan menunjukkan kemanjuran yang lebih baik.
Karena kelangkaan FDCS, sumber pendanaan untuk penelitian terkait relatif terbatas, dan kemajuan dalam pengobatannya sangat bergantung pada hasil penelitian dari kanker lain yang lebih umum. Meskipun rejimen kemoterapi sebelumnya telah mencapai hasil tertentu dalam FDCS, dengan munculnya metode pengobatan baru, terapi yang lebih spesifik untuk FDCS dapat dikembangkan di masa mendatang.
Seiring bertambahnya pemahaman kita tentang biologi kanker, mengeksplorasi opsi dan rejimen pengobatan baru merupakan masa depan yang menarik bagi pasien dengan FDCS.
Prospek pengobatan FDCS secara bertahap menjadi lebih jelas, tetapi dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkelanjutan, dapatkah kita mengharapkan terapi yang lebih terarah untuk meningkatkan tingkat kelangsungan hidup pasien secara signifikan?