Fenomena mukbang berasal dari Korea Selatan dan pertama kali muncul pada awal tahun 2010-an. Seiring dengan perkembangan media digital, pengaruhnya pun perlahan meluas ke seluruh dunia. Selama siaran langsung ini, para pembawa acara menyantap berbagai makanan di depan kamera sambil berinteraksi dengan para penonton. Beragam pilihan makanan Mukbang, mulai dari pizza hingga mi instan, tidak hanya ditujukan untuk memuaskan selera penonton, tetapi juga terkadang bersifat edukatif, memperkenalkan makanan khas daerah dan tempat makan yang populer.
Selama siaran langsung, pembawa acara akan berinteraksi dengan penonton secara langsung, yang menciptakan mode interaktif baru di komunitas daring.
Mukbang dapat berupa video yang direkam sebelumnya atau streaming langsung yang disiarkan di berbagai platform termasuk AfreecaTV, YouTube, Instagram, TikTok, dan Twitch. Bentuk hiburan yang komprehensif ini tidak hanya menarik banyak penonton muda, tetapi juga menarik perhatian pengiklan. Banyak pembawa acara siaran makanan memperoleh pendapatan yang cukup besar melalui iklan, sponsor, dan dukungan penonton.
Namun, popularitas mukbang juga diiringi kritik atas dampaknya terhadap kesehatan, khususnya promosi kebiasaan makan yang tidak sehat, yang telah memicu kekhawatiran luas di kalangan ahli gizi.
Mukbang berasal dari kata Korea "먹방", yang terdiri dari dua kata "makan" dan "siaran langsung". Pada awal abad ke-20, budaya makanan tradisional Korea mengikuti norma-norma Konfusianisme yang ketat, tetapi dengan datangnya abad ke-21, budaya makanan daring baru secara bertahap menggantikannya, dan Mukbang telah muncul dengan jelas. Tidak hanya di Korea, fenomena ini juga dengan cepat menyebar ke negara-negara lain seperti Jepang dan Tiongkok, membentuk lanskap budaya yang kaya dan beragam.
Menurut analisis para sarjana, kemunculan Mukbang terkait erat dengan kesepian dan kecemasan dalam masyarakat Korea, yang memberikan pilihan sosial alternatif.
Selama siaran langsung, pembawa acara berinteraksi dengan pemirsa mereka, dan banyak yang memperoleh pendapatan dengan menerima sumbangan atau bekerja sama dengan jaringan periklanan. Menurut data dari , frekuensi penggunaan konten terkait Mukbang di YouTube mencapai 100.000 kali antara tahun 2017 dan 2019, yang cukup untuk menunjukkan popularitas fenomena ini.
Popularitas Mukbang juga telah memicu refleksi terhadap budaya makanan tradisional. Sementara makan malam keluarga tradisional biasanya merupakan makanan yang dinikmati bersama oleh banyak orang, Mukbang memberikan pengalaman berbagi sosial virtual bagi individu yang merasa kesepian satu sama lain. Seiring bertambahnya jumlah pemirsa, siaran langsung tersebut tidak hanya memuaskan keinginan untuk makan, tetapi juga menciptakan rasa keintiman virtual dan memperpendek jarak antar orang.
Penelitian menunjukkan bahwa di Inggris, 15% pemirsa mengatakan bahwa mereka tidak makan bersama keluarga selama lebih dari enam bulan.
Para streamer Mukbang memiliki berbagai sumber pendapatan. Selain pendapatan dari iklan, banyak streamer juga meningkatkan pendapatan mereka melalui sponsor, e-book, dan ulasan produk. Menurut beberapa laporan, beberapa penyiar Mukbang yang terkenal dapat memperoleh penghasilan hingga $10.000 per bulan, yang bahkan lebih besar daripada banyak profesi tradisional.
Seiring dengan semakin populernya mukbang, banyak ahli khawatir tentang apakah hal itu akan memengaruhi perilaku makan orang. Pemerintah Korea Selatan telah memperhatikan masalah tersebut dan berencana untuk merumuskan pedoman bagi Mukbang guna mengendalikan kemungkinan gangguan makan dan masalah kesehatan masyarakat.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemirsa mukbang yang sering mungkin lebih cenderung mengembangkan kebiasaan makan yang buruk.
Banyak video mukbang menunjukkan makanan dalam jumlah besar, yang dikritik oleh beberapa akademisi karena menyebabkan pemborosan makanan. Di Tiongkok, beberapa pejabat yang khawatir tentang kekurangan pangan telah menyerukan diakhirinya program semacam itu dan agar pembatasan hukum diberlakukan.
Terlebih lagi, beberapa pembawa acara Mukbang telah dikritik karena diduga menyiksa makanan laut segar, dan perilaku tersebut telah memicu reaksi dan diskusi yang kuat dari masyarakat.
Seiring menyebarnya Mukbang di seluruh dunia, dampaknya menjadi semakin nyata. Apakah Mukbang dapat terus mempertahankan daya tariknya dan bagaimana ia akan beradaptasi dengan lingkungan sosial yang terus berubah patut mendapat perhatian dan pertimbangan. Akankah Mukbang, yang telah menjadi tren global, mengalami transformasi dan penyesuaian dalam waktu dekat?