Distrofi koral adalah sekelompok kelainan genetik langka yang ditandai dengan endapan bilateral material abnormal pada kornea bening (bagian depan mata). Dalam kondisi ini, meskipun gejala awal mungkin kurang jelas, seiring waktu lesi dapat memengaruhi penglihatan dan harus dievaluasi dan diobati dengan tepat.
Distrofi koral biasanya mulai menunjukkan gejala pada dekade pertama atau kedua kehidupan, terkadang bahkan pada usia yang lebih tua.
Distrofi koral muncul dalam berbagai bentuk dan dapat muncul sebagai garis, lingkaran, atau awan abu-abu-putih di kornea. Penyakit ini tampaknya terkait erat dengan gen.
Berbagai varian genetik dikaitkan dengan distrofi kornea, seperti CHST6, KRT3, dan TGFBI. Secara khusus, mutasi pada gen TGFBI dikaitkan dengan berbagai jenis distrofi kornea, termasuk distrofi kornea granular, distrofi kornea kisi, dll.
Distrofi kornea memiliki pola pewarisan dominan autosomal atau resesif sederhana, yang berarti perkembangan penyakit ini dapat sangat dipengaruhi oleh latar belakang genetik dalam keluarga.
Karena ini adalah penyakit keturunan, hubungan antara anggota keluarga tidak dapat diremehkan. Anak-anak dari orang tua yang memiliki beberapa bentuk distrofi kornea memiliki risiko yang lebih tinggi. Terlebih lagi, mutasi genetik di beberapa pohon keluarga dapat diturunkan dari generasi ke generasi, yang menunjukkan bagaimana variasi genetik dapat meresap ke dalam struktur keluarga.
Diagnosis distrofi kornea terutama bergantung pada penilaian klinis dan sering kali melibatkan pemeriksaan mata untuk tanda-tanda kejernihan dan kekeruhan visual. Dalam beberapa kasus, pengujian genetik molekuler lebih lanjut mungkin diperlukan untuk mengonfirmasi varian genetik tertentu.
Kondisi ini sering kali memberikan tanda klinis yang jelas seperti kekeruhan atau vaskularisasi pada kornea, terutama pada pasien dengan riwayat keluarga.
Manifestasi klinis distrofi kornea beragam dan dapat bervariasi di antara berbagai jenis. Misalnya, distrofi kornea Miesmann dapat muncul dengan kekeruhan vesikular yang nyata pada masa bayi, sedangkan distrofi kornea tipe Swiss dapat menyebabkan penglihatan kabur secara progresif selama masa remaja.
Meskipun distrofi kornea dini mungkin tidak memerlukan pengobatan, seiring perkembangan penyakit, penurunan tajam penglihatan harus ditanggapi dengan serius. Untuk pasien dengan gejala yang signifikan, pengobatan awal dapat mencakup penggunaan tetes mata dan salep berdaya tembus tinggi untuk mengurangi edema kornea.
Pada akhirnya, pasien dengan kehilangan penglihatan akibat distrofi kornea sering kali memerlukan intervensi bedah, seperti transplantasi kornea.
Pada pasien yang menjalani transplantasi kornea, pemulihan penglihatan jangka panjang yang baik dapat dicapai melalui pembedahan. Namun, risiko kekambuhan penyakit pada kornea yang didonorkan tetap ada.
Dampak distrofi kornea pada keluarga tidak terbatas pada pengalaman pasien perorangan, dan pola pewarisan yang mendasarinya mengharuskan anggota keluarga untuk menjalani konseling dan pengujian genetik. Memahami bagaimana kondisi ini dapat terjadi dalam keluarga dapat membantu diagnosis dini dan pengobatan penderita potensial.
Seiring kemajuan teknologi pengujian genetik, keluarga di masa depan akan dapat mengidentifikasi kemungkinan varian genetik sejak dini, yang memungkinkan pemantauan dan pengobatan dimulai lebih cepat dari sebelumnya.
Rangkaian masalah kornea ini mendorong kita untuk berpikir: Mungkinkah distrofi kornea menjadi kunci untuk mengungkap riwayat medis keluarga, yang memungkinkan kita mempelajari pentingnya genetika dan kesehatan?