Samuel Lante
Yahoo!
Network
Latest external collaboration on country level. Dive into details by clicking on the dots.
Publication
Featured researches published by Samuel Lante.
Jurnal Riset Akuakultur | 2018
Samuel Lante; Andi Tenriulo; Andi Parenrengi
Udang windu transgenik merupakan udang hasil rekayasa dengan mengintroduksikan gen antivirus yang diisolasi dari udang windu untuk menghasilkan fenotipe yang lebih baik. Domestikasi udang transgenik telah dilakukan dan berhasil memijah/bertelur, tetapi umumnya telurnya infertil yang disebabkan tidak terjadinya pembuahan di tambak pemeliharaan. Udang betina tidak kawin ditandai tidak membawa spermatofor di telikumnya. Upaya untuk mendapatkan telur fertil udang dengan inseminasi buatan (IB) perlu dilakukan. Tujuan penelitian untuk mengevaluasi performa reproduksi udang betina transgenik dan mutu larva yang dihasilkan pasca IB menggunakan sumber spermatofor yang berbeda. Penelitian ini dirancang dengan tiga perlakuan yaitu: IB menggunakan spermatofor udang windu jantan transgenik (SJT), spermatofor udang windu jantan alam Sulawesi Selatan (SulSel) (SJS) dan spermatofor udang windu jantan alam Aceh (SJA). IB dilakukan pada udang windu betina transgenik setelah dua hari moulting. Hasil penelitian menunjukkan bahwa udang windu betina transgenik pasca IB perlakuan SJT menghasilkan total telur fertil sebanyak 766.949 butir, perlakuan SJS 535.644 butir dan perlakuan SJA 678.016 butir dengan daya tetas telur fertil yaitu: pada SJT, SJS, dan SJA masing-masing adalah 53,5%; 53,7%; dan 55,0%. Uji vitalitas larva dengan perendaman dalam larutan formalin 150-200 mg/L, perendaman air tawar: 5-15 menit, dan pengeringan 3-9 menit menghasilkan sintasan larva udang yang relatif sama pada ketiga perlakuan. Nilai morfologi larva perlakuan SJT, SJA, dan SJS adalah masing-masing 85,0; 84,5; dan 75,0. Dari hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa performa reproduksi udang windu betina transgenik dan mutu larva yang dihasilkan pasca IB tidak dipengaruhi oleh sumber spermatofor induk udang windu jantan Penaeus monodon. Transgenic tiger shrimp, Penaeus monodon has been developed in the last decade to equip shrimp with immunity against viral diseases. However, the effort to produce large quantities of specific pathogen resistance (SPR) tiger shrimp seed is hampered by several constraints in the domestication process. The successfulness of domesticated broodstock in producing larvae is very low due to low fertilization rate. An artificial insemination (AI) offers a solution to increase fertilization rate in crustacean. This study was aimed to evaluate the reproductive performance of female transgenic tiger shrimp broodstock and their larval quality after artificially inseminated with males from different sources. The spermatophores of male from different sources i.e. transgenic male spermatophore (SJT), wild male from South Sulawesi (SJS), and wild male from Aceh (SJA) were collected through electric shock and inseminated to female transgenic broodstock two days after moulting. The results showed that the total numbers of fertile eggs produced from SJT, SJS, and SJA treatment were 766,949 pcs; 535,644 pcs; and 678,016 pcs, respectively and not significantly different (P>0.05). Similar to the number of fertile eggs, the hatching rate of eggs of SJT (53.5%), SJS (53.7%), and SJA (55.0%) also did not indicate any significant differences (P>0.05). On the larval vitality test by soaking the larvae in formalin and freshwater as well as by air exposure at different duration showed no significant difference on the survival rate (P>0.05) as indicated by score value at each treatment of 85.0, 84.5, and 75.0 for SJT, SJS, and SJA, respectively. In conclusion, the reproductive performance of female transgenic tiger shrimp and their larval quality were not affected by the different sources of spermatophores inseminated artificially during the spawning cycle.
Jurnal Riset Akuakultur | 2017
Samuel Lante; Asda Laining
Salah satu kendala utama dalam domestikasi udang windu adalah rendahnya tingkat perkawinan secara alami dalam wadah budidaya. Hal yang sama terjadi pada udang windu alam yang digunakan di unit pembenihan. Salah satu upaya untuk mendapatkan telur fertil adalah melalui inseminasi buatan (IB). Inseminasi buatan merupakan teknik mentransfer spermatofor dari induk jantan dengan cara memasukkannya ke dalam telikum udang betina. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui performa reproduksi udang windu betina alam pasca-inseminasi menggunakan sumber dan jumlah spermatofor induk jantan alam yang berbeda. Penelitian dilakukan dua tahap yaitu 1) IB menggunakan spermatofor induk jantan dari perairan Sulawesi Selatan (SS) dan spermatofor induk jantan dari Aceh (SA) dan 2) IB menggunakan jumlah spermatofor berbeda yaitu satu spermatofor (S-1) dan dua spermatofor (S-2) pada udang windu betina alam. Inseminasi spermatofor dilakukan pada induk udang windu betina setelah dua hari moulting. Hasil yang diperoleh pada IB tahap pertama menunjukkan bahwa daya tetas telur udang windu betina alam lokal tidak dipengaruhi oleh sumber (lokasi) asal udang jantan, di mana daya tetas telur relatif sama pada kedua perlakuan, yaitu 61,6% pada SS dan 61,7% pada SA. IB pada tahap kedua menunjukkan bahwa daya tetas telur fertil yang diperoleh pada S-2 sebesar 40,5%; lebih rendah dari S-1 sebesar 44%. One of the main constraints in the domestication of black tiger shrimp is very low natural mating in the tank. Similar condition have been happened in commercial hatcheries. An effort to improve the eggs fertility is through artificial insemination (AI). This study aimed to know reproductive performance of wild black tiger shrimp after insemination with different sources and numbers of spermatophore. This study consisted of two trials.The first one was AI using spermatophores of wild male obtained from two different locations, namely from South Sulawesi (SS) and Aceh (SA). The second trial was AI using different numbers of spermatophore namely one spermatophore (S-1) and two spermatophores (S-2). AI was applied to the females at two days post-moulting. The results of the first trial showed that the hatching rate (HR) was not affected by the source of the male which was 61.6% for SS and 61.7% for SA. The second trial indicated that female inseminated S-2 had lower HR than S-1 (40.5% vs 44%).
Indonesian Aquaculture Journal | 2017
Rosmiati Rosmiati; Samuel Lante; Emma Suryati
The problem which has still been faced in the Artificial insemination (AI) is the slow of shrimp to molt. Ecdysteroid hormone has been reported to stimulate molting of tiger shrimp. This study aims to isolate ecdysteroid hormone from Cycas revoluta, Portulaca oleracea and Morus sp. and evaluate its effect on molting period, growth and survival rate of tiger shrimp. Isolation of ecdysteroid from the leaves of three species was carried out by maceration and solvent partition method. Purification of ecdysteroid used repeated column chromatography and preparative thin layer chromatography (TLC). Evaluation of the isolated phytoecdysteroid hormone effect on molting period, growth and survival rate of shrimp was done by injecting of 100 µL phytoecdyasterod (27.5 µg/shrimp) at the first somite of ventral abdomen. As the comparison, the commercial ecdysteroid (positive control) and sterile saline solution (negative control) were also injected at the concentration of 8.6 µg/shrimp and 0 µg/shrimp, respectively. Finding showed that the highest percentage of phytoecdysteroid was obtained in Portulaca oleracea, followed by Morus sp. and Cycas revoluta with the ecdysteroid content of 0.43%, 0.22%, and 0.09%, respectively. Pytoecdysteroid isolated from the three plants was able to shorten molting period of shrimp into 4, 4, 2, and 5 days earlier for Portulaca oleracea, Morus sp., Cycas revoluta, and positive control, respectively, compared to the negative control. The highest survival rate and growth were obtained at the treatment of Portulaca oleracea, followed by Morus sp. and Cycas revoluta with the survival rate, length and weight increase of 86%, 75%, and 25%, 4.42%, 2.26% and 2.16%, and 15.90%, 10.55%, and 8.73%, respectively.
Jurnal Riset Akuakultur | 2011
Andi Parenrengi; Andi Tenriulo; Syarifuddin Tonnek; Samuel Lante
Teknologi transgenesis khususnya rekayasa genetik untuk menghasilkan udang windu resisten penyakit merupakan salah satu strategi yang dapat dilakukan dalam upaya pemecahan masalah penyakit yang menimpa budidaya udang windu. Teknologi transgenesis khususnya transfer gen antivirus pada udang windu telah berhasil dilakukan melalui teknik transfeksi. Meskipun demikian optimalisasi komponen teknologi tersebut masih perlu dilakukan. Konsentrasi DNA gen merupakan salah satu komponen teknologi transgenesis yang harus dioptimalkan untuk mendapatkan efisiensi dalam transfer gen. Penelitian bertujuan untuk mengetahui konsentrasi DNA gen antivirus yang optimal sebagai bahan transfer gen ke embrio menggunakan metode transfeksi. Embrio udang windu yang diperoleh dari hasil pemijahan induk asal Aceh, dikoleksi 5-10 menit setelah memijah dengan kepadatan 625 telur/2 mL. Transfeksi dilakukan dengan menggunakan media larutan transfeksi jetPEI dengan konsentrasi DNA gen antivirus sebagai perlakuan, yakni: 5, 10, dan 15 µg serta kontrol positif (tanpa plasmid DNA) dan negatif (tanpa plasmid DNA dan larutan transfeksi), masing-masing 3 ulangan. Embrio hasil transfeksi ditetaskan pada stoples berisi air laut sebanyak 2 L yang diletakkan pada waterbath. Hasil penelitian menunjukkan bahwa gen antivirus telah berhasil diintroduksi ke embrio udang windu. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perbedaan konsentrasi DNA (5-15 µg) tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap daya tetas embrio udang windu. Analisis ekspresi gen pada larva udang windu juga menunjukkan adanya aktivitas ekspresi gen antivirus pada semua perlakuan konsentrasi DNA, di mana ekspresi gen antivirus pada larva transgenik lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol (tanpa transfeksi). Sintasan pasca-larva PL-1 yang didapatkan pada penelitian ini adalah 12,0%; 10,0%; 10,6%; 12,3%; dan 14,2% masing-masing untuk perlakuan konsentrasi plasmid DNA 5 µg, 10 µg, 15 µg, kontrol positif dan negatif, di mana konsentrasi DNA yang berbeda tidak memperlihatkan pengaruh nyata (P>0,05) terhadap sintasan larva PL-1. Hasil penelitian ini berimplikasi bahwa untuk alasan efisiensi, konsentrasi DNA 5 µg disarankan untuk digunakan dalam transfer gen pada embrio udang windu.
Indonesian Aquaculture Journal | 2006
Usman Usman; Rachmansyah Rachmansyah; Samuel Lante; Kamaruddin Kamaruddin; Taufik Ahmad
Prosiding FORUM INOVASI TEKNOLOGI AKUAKULTUR | 2017
Samuel Lante; Andi Parenrengi; Sulaeman Sulaeman
Prosiding FORUM INOVASI TEKNOLOGI AKUAKULTUR | 2017
Samuel Lante; Neltje Nobertine Palinggi
Prosiding FORUM INOVASI TEKNOLOGI AKUAKULTUR | 2016
Samuel Lante; Rosmiati Rosmiati; Neltje Nobertine Palinggi
Jurnal Riset Akuakultur | 2016
Markus Mangampa; Sulaeman Sulaeman; Andi Parenrengi; Samuel Lante
Prosiding FORUM INOVASI TEKNOLOGI AKUAKULTUR | 2015
Kamaruddin Kamaruddin; Usman Usman; Samuel Lante