Tri Murti Andayani
Gadjah Mada University
Network
Latest external collaboration on country level. Dive into details by clicking on the dots.
Publication
Featured researches published by Tri Murti Andayani.
Clinical Therapeutics | 2015
Diana Sun; Tri Murti Andayani; Ahmed Altyar; Karen MacDonald; Ivo Abraham
PURPOSE The objectives of this study were to simulate for the European Union G5 countries the potential cost savings of converting patients from originator granulocyte colony-stimulating factor (G-CSF) filgrastim and pegfilgrastim to a biosimilar filgrastim, to evaluate how reallocating these savings could increase patient access to antineoplastic therapy, and to estimate the number of patients needed to convert to provide antineoplastic treatment to one patient. METHODS Three models were built: (1) to estimate the costs of using originator G-CSFs and the savings generated from switching to a biosimilar G-CSF, (2) to estimate the incremental number of patients who could be provided antineoplastic therapy-rituximab or trastuzumab-in a hypothetical panel of 10,000 patients with cancer, and (3) to calculate the number of patients needed to convert to provide access to anticancer therapy. Scenarios were developed in which the rate of conversion was varied to estimate the effect on total cost savings. This study took the perspective of the payer in the European Union. FINDINGS The savings associated with the biosimilar filgrastim over the originator filgrastim ranged from €785 (day 4) to €2747 (day 14) and increased with longer duration of therapy. By contrast, the savings associated with the biosimilar filgrastim over pegfilgrastim decreased over time, ranging from €6199 (day 4) to €471 (day 14). In a hypothetical panel of 10,000 patients with cancer, the savings associated with the biosimilar filgrastim over the originator filgrastim and the expanded access to antineoplastic therapy improved over time, irrespective of conversion rates. Conversely, in the same hypothetical panel, the savings associated with the biosimilar filgrastim over pegfilgrastim reduced over time, irrespective of conversion rates, along with the expanded access to antineoplastic treatment. Under conversion of the originator filgrastim to the biosimilar filgrastim, the number needed to convert to expand access to rituximab ranged from 4 to 14 patients, and the number needed to convert to expand access to trastuzumab ranged from 11 to 38 patients. Under conversion of pegfilgrastim to the biosimilar filgrastim, the number needed to convert to expand access to rituximab ranged from 2 to 24 patients, and the number needed to convert to expand access to trastuzumab ranged from 5 to 63 patients. IMPLICATIONS Use of biosimilar G-CSFs for supportive cancer care could yield potential cost savings and improve patient access to antineoplastic therapy in a budget neutral way-a financial effect with an ethical perspective.
Journal of Management and Pharmacy Practice | 2016
Arissa Dwiningrum; Tri Murti Andayani; Fita Rahmawati
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk validitas software Pharmacy Support System melalui uji diagnostik (sensitivitas, spesifisitas, nilai duga positif dan nilai duga negatif) dari Pharmacy Support System dalam mendeteksi DRPs potensial pada pasien geriatrik rawat jalan dan untuk mengetahui perbedaan antara jenis DRPs yang terdeteksi oleh farmasis dan farmasis dengan dukungan PSS. Penelitian ini bersifat analitik observasional dengan desain cross sectional. Pengambilan data pada penelitian secara retrospektif (Oktober- Desember 2014) dari RS PKU Muahmmadiyah dan RSUD Kabupaten Sleman dengan jumlah sampel 200 pasien. Kriteria inklusi yaitu pasien dengan usia ≥60 tahun, pasien berasal dari poli penyakit dalam dan saraf. Untuk mengetahui nilai diagnostik dari PSS dianalisis menggunakan cross tabulation (tabel 2x2) dan analisa menggunakan uji Goodness of fit. Pharmacy Support System memiliki sensitivitas 99%, spesifisitas 60%, nilai duga positif 76% dan nilai duga negatif 98% dalam mendeteksi DRPs potensial pada pasien geriatri rawat jalan. PSS memiliki sensitivitas dan spesifisitas dalam mendeteksi jenis DRPs yaitu terapi tanpa indikasi (81,4%;98,8%), kondisi yang perlu diterapi (80%;96%), obat tidak tepat (94%;94%), dosis tidak tepat (100%;79%), efek samping obat (89%; 100%) dan interaksi obat (95%; 85%). Dan juga terdapat perbedaan bermakna antara jenis DRPs yang terdeteksi oleh farmasis dan farmasis dengan dukungan PSS. Kata kunci: geriatrik, DRPs, clinical decision support system, sistem informasi klinik farmasi
Journal of Management and Pharmacy Practice | 2016
Irfanianta Arif Setyawan; Tri Murti Andayani; Rizaldy T Pinzon
Stroke perdarahan merupakan defisit fungsi sistem saraf yang disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak berupa pecahnya pembuluh darah di otak.Stroke tidak hanya menjadi tantangan yang besar bagi pasien dan keluarganya, besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk perawatan akut dan rehabilitasi juga menjadi beban yang besar untuk sistem perawatan kesehatan. Cost of illnessmerupakan salah satu studi farmakoekonomi yang digunakan untuk mengukur beban ekonomi suatu penyakit. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh faktor usia, jenis kelamin, jumlah komorbid dan komplikasi, lama dan kelas rawat inap terhadap total biaya penyakit,mengetahui komponen, rata-rata, dan total biaya penyakitstroke perdarahan. Jenis penelitian ini adalah analitik non-eksperimental dengan rancangan cross sectional study, pengambilan datadilakukan secara retrospektif. Biaya yang diperhitungkan adalah biaya medik langsung berdasarkan perspektif rumah sakit dengan pendekatan bottom up. Subjek penelitian ini adalah seluruh pasien stroke perdarahan rawat inap dan rawat jalan periode Oktober 2014-September 2015 di RS Bethesda Yogyakartayang memenuhi kriteria inklusi penelitian. Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis dengan menggunakan ujinon parametrik dan regresi linier. Hasil penelitian diperoleh 45 pasien rawat inap dan 36 pasien rawat jalan.Total biaya penyakit stroke perdarahan sebesar Rp. 643.783.379,40,-. Rata-rata biaya pada episode pertama pasien rawat inap stroke Rp. 13.826.124,54,- ± Rp. 8.627.671,85,- dan episode pertama rawat jalanRp. 600.215,97,- ± Rp. 365.042,33,-. Komponen biaya terbesar pada pasien stroke rawat inap dan rawat jalan adalah biaya obat dan barang medik.Jenis kelamin berpengaruh terhadap biaya riil rawat jalan dan lama rawat inap berpengaruh terhadap biaya riil rawat inap (p<0,05). Kata kunci: biaya penyakit, stroke perdarahan, RS Bethesda Yogyakarta
Journal of Management and Pharmacy Practice | 2016
Ferdy Firmansyah; Tri Murti Andayani; Rizaldy T Pinzon
Stroke iskemik merupakan suatu gejala klinis yang disebabkan oleh suplai darah yang tidak memadai ke otak. Cost of Illness (COI) dapat digunakan untuk menghitung biaya penyakit stroke iskemik pada suatu periode. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh karakteristik pasien terhadap biaya riil; dan mengetahui komponen biaya, rata-rata biaya, dan total biaya penyakit pasien. Jenis penelitian ini menggunakan rancangan penelitian analitik non-eksperimental dengan pendekatan cross sectional study berdasarkan perspektif rumah sakit dengan pendekatan bottom up. Pengambilan data dilakukan dengan melihat rekam medik pasien yang memenuhi kriteria inklusi selama periode Oktober 2014-September 2015 di Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta. Subyek penelitian terdiri dari 145 pasien rawat inap dan 83 pasien rawat jalan. Variabel dalam penelitian ini yaitu variabel terikat adalah total biaya penyakit, dan variabel bebas adalah usia, jenis kelamin, komorbid, komplikasi, lama dan kelas rawat inap. Analisis data menggunakan mann-whitney, kruskal-wallis, dan regression linier. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasien rawat jalan tidak terdapat pengaruh yang signifikan pada variabel usia dan jenis kelamin terhadap total biaya riil (p>0,05). Pada pasien rawat inap terdapat pengaruh yang signifikan pada variabel lama dan kelas perawatan terhadap total biaya riil(p<0,05). Total biaya penyakit stroke iskemik berdasarkan perspektif Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta dalam periode 1 tahun dengan metode pembayaran Fee for Service sebesar Rp. 1.528.343.158 yang merupakan penjumlahan dari total biaya riil pasien rawat jalan sebesar Rp. 51.562.900 dengan rata-rata Rp. 621.240 dan total biaya riil pasien rawat inap sebesar Rp. 1.476.780.258 dengan rata-rata Rp. 10.184.691. Biaya komponen terbesar terdapat pada kelompok biaya obat dan barang medik. Kata kunci: COI, stroke iskemik, Bethesda
Journal of Management and Pharmacy Practice | 2016
Metty Azalea; Tri Murti Andayani; Satibi Satibi
Gangguan fungsi ginjal merupakan salah satu permasalahan utama kesehatan masyarakat Indonesia. Pada era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) pembiayaan kesehatan pada Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL) menggunakan tarif Indonesian Case Based Group (INA-CBGs), tetapi seringkali biaya riil lebih besar dari tarif INA-CBGs. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui rata-rata biaya pengobatan pasien penyakit ginjal kronis (PGK) rawat inap dengan hemodialisis serta mengetahui komponen biaya yang paling berpengaruh terhadap tarif rumah sakit, faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya biaya pengobatan PGK dan perbedaan antara biaya riil dengan tarif INA-CBGs. Jenis penelitian adalah analitik cross-sectional dengan perspektif rumah sakit. Data diambil secara retrospektif pada bulan Januari-April 2016. Subjek penelitian adalah pasien PGK rawat inap dengan hemodialisis. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis deskriptif, uji korelasi Spearman dan uji one sample t-test. Pasien yang memenuhi kriteria inklusi sebanyak 47 episode rawat inap. Rata-rata biaya riil pengobatan pasien PGK rawat inap dengan hemodialisis dengan tindakan operatif per episode rawat inap sebesar Rp.23.732.520,02 ± Rp.19.142.379,09 dan non operatif sebesar Rp.12.800.910,61 ± Rp.6.409.290,00. Pada kelompok biaya operatif komponen terbesar adalah biaya tindakan medis operatif sebesar 29,39% dan pada kelompok non operatif biaya yang terbesar pada biaya pelayanan penunjang medis sebesar 27,12%. Faktor yang mempengaruhi biaya pengobatan pasien PGK rawat inap dengan hemodialisis adalah komorbid, frekuensi HD dan LOS. Perbedaan antara biaya riil dan tarif INA-CBGs terdapat pada kelompok N-4-10 II Kelas I; N-4-10-II Kelas II; N-4-10-III; N-4-10-I Kelas I dan selisih tarif rumah sakit dan tarif INA-CBGs sebesar Rp.225.632.939,96. Kata Kunci: penyakit ginjal kronis , analisis biaya, INA-CBGs, hemodialisis
Journal of Management and Pharmacy Practice | 2016
Tety Nuryanti; Dhiyan Kusumawati; Tri Murti Andayani; Fredie Irijanto
Anemia berhubungan dengan peningkatan mortalitas dan morbiditas yang signifikan pada pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis (PGK-HD). Anemia defisiensi besi terjadi pada sebagian besar pasien dengan PGK-HD. Anemia defisiensi besi dapat membatasi efikasi terapi epoetin (EPO) pada pasienPGK-HD. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek terapi iron dextran pada pasien PGK-HD rutin ditinjau dari parameter perubahan nilai status besi (SI, TIBC, ST) dan kadar hemoglobin (Hb) pasien sebelum dan sesudah terapi iron dextran, dan kemungkinan muncul adverse drug event (ADE) selama terapi iron dextran. Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan menggunakan desain cross sectional retrospektif berdasarkan data rekam medis pasien PGK dengan HD rutin 2x/minggu, pasien dengan pemeliharaan EPO, nilai SI < 60 μg/dl, ST<50%, usia ≥ 18 tahun yang mendapat iron dextran selama 5 minggu dengan frekuensi pemberian 2x/minggu, pada periode Januari 2015-Desember 2015 di RS UGM Yogyakarta. Pasien yang memenuhi kriteria inklusi dilihat rata-rata perubahan nilai status besi dan kadar Hb setelah terapi iron dextran diberikan selama 5 minggu. Data dianalisis dengan uji statistik paired-t-test. Pasien juga dilihat kemungkinan muncul ADE dengan melihat perkembangan kondisi pasien yang tercatat di rekam medik pasien selama terapi iron dextran. Hasil penelitian terhadap 33 pasien menunjukkan bahwa penggunaan iron dextran untuk terapi anemia pada pasien PGKHD memiliki efek dapat meningkatkan nilai SI dari 39 μg/dl menjadi 62 μg/dl(ΔSI 23 μg/dl), TIBC dari 148 μg/dl menjadi 170 μg/dl (ΔTIBC 22 μg/dl), ST dari 26,70 % menjadi 38,64% (ΔST 11,94 %) dan kadar Hb dari 10,13 g/dl menjadi 10,72 g/dl (ΔHb 0,59 g/dl) serta tidak ditemukan ADE selama penggunaan iron dextran. Hasil analisis statistik menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan terhadap perubahan nilai status besi dan Hb (p < 0,05). Kata kunci: anemia, defisiensi besi, iron dextran
JURNAL MANAJEMEN DAN PELAYANAN FARMASI (Journal of Management and Pharmacy Practice) | 2016
Yovita Dwi Arini; Fita Rahmawati; Tri Murti Andayani
Peranan farmasi klinik antara lain mengidentifikasi, mencegah, dan mengatasi Drug Related Problems (DRPs). Penelitian - penelitian sebelumnya menunjukkan faktor risiko terjadinya DRPs antara lain: usia, jenis kelamin, polifarmasi, jumlah obat yang diterima, diagnosa serta penyakit penyerta. Prevalensi penyakit dalam menurut Riskesdas pada tahun 2013 cenderung mengalami peningkatan. Oleh karena itu perlu adanya penelitian yang bertujuan untuk mengkaji hubungan faktor risiko terhadap kejadian DRPs pada pasien penyakit dalam. Penyakit kronis yang diteliti adalah diabetes melitus, hipertensi, hipertiroid, hipotiroid, sirosis hepatik dan PPOK. Penelitian ini merupakan penelitian case control dengan pengambilan data menggunakan metode purposive sampling. Data diambil dari resep rawat jalan poliklinik penyakit dalam pada bulan Mei 2015. Analisis data dilakukan dengan statistik deskriptif untuk menunjukkan kejadian DRPs. Untuk melihat hubungan faktor risiko dengan DRPs digunakan Metode Chi square dengan tingkat kepercayaan 95%. Untuk mengetahui hubungan antar faktor-faktor risiko dianalisis dengan metode regresi linear logistik berpasangan (multivariat). Hasil peneltian menunjukkan sebanyak 185 kejadian DRPs pasien rawat jalan dengan penyakit kronis Jenis kejadian DRP berturut- turut dari yang paling banyak adalah indikasi tanpa terapi 46 kejadian (24,73%), dosis obat berlebih 41 kejadian (22,04%), ROTD 41 kejadian (22,04%), obat tidak efektif 38 kejadian (20,43%), terapi tanpa indikasi 11 kejadian (5,92%) dan dosis obat kurang sebanyak 9 kejadian (4,48%). Usia lanjut, multiple comorbid, dan polifarmasi, berpengaruh terhadap kejadian DRPs (p < 0,05). Kata kunci: faktor risiko, DRPs, peresepan rawat jalan, penyakit kronis
Journal of Management and Pharmacy Practice | 2015
Maya Arfania; Tri Murti Andayani; Fita Rahmawati
Drug related problems (DRPs) merupakan bagian dari suatu medication error yang dihadapi hampir semua negara di dunia dan menyebabkan biaya pengobatan menjadi mahal. Pediatrik menempati peringkat kedua sebagai spesialis medis yang sering mengalami DRPs. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi DRPs dan mengetahui angka kejadian DRPs pada peresepan pasien pediatrik rawat jalan serta mengetahui faktor yang berhubungan dengan terjadinya DRPs pada peresepan rawat jalan. Penelitian ini menggunakan rancangan cross sectional. Pengambilan data dilakukan secara prospektif. Penelitian dilakukan di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta dan RSUD Kabupaten Sleman pada bulan Oktober sampai Desember 2014. Subyek penelitian ini adalah pasien pediatrik rawat jalan sebesar 198 pasien dengan metode pengambilan sampel secara consecutive sampling. Penelitian ini dilakukan dengan mengidentifikasi adanya DRPs pada peresepan pasien pediatrik rawat jalan, kemudian menentukan faktor yang berhubungan dengan terjadinya DRPs pada pasien. Hubungan faktor usia, jenis kelamin, jumlah obat, jumlah diagnosis, dan dokter penulis resep dengan DRPs dianalisis menggunakan Chi square/ Fisher exact test sedangkan untuk melihat besarnya rasio jenis obat yang dapat menyebabkan DRPs dilakukan dengan menghitung drug risk ratio (DRR). Hasil penelitian menunjukkan DRPs terjadi pada 99 (50%) pasien pediatrik dengan total kejadian DRPs sebanyak 172 kejadian. Tipe DRPs yang mayoritas terjadi adalah interaksi obat sebesar 97 (56,40%) kejadian, dosis terlalu kecil 42 (24,42%) kejadian, kepatuhan 17 (9,88%) kejadian, obat tidak tepat 13 (7,56%) kejadian, dan ESO 3 (1,74%) kejadian. Faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian DRPs adalah usia, jumlah obat, dan dokter penulis resep.
Journal of Management and Pharmacy Practice | 2015
Amalia Amalia; Tri Murti Andayani; Endang Yuniarti
Diabetes melitus (DM) merupakan salah satu penyakit kronis yang prevalensinya meningkat terus. Komplikasi DM merupakan salah satu faktor yang bisa menaikkan biaya. Penelitian bertujuan mengetahui komponen biaya yang paling berpengaruh pada biaya DM, mengetahui jenis komplikasi yang menimbulkan biaya paling besar, dan mengetahui adakah perbedaan signifikan biaya rata-rata per episode perawatan antara biaya terapi DM tanpa dan dengan komplikasi. Jenis penelitian adalah analisis non eksperimental dengan rancangan cross sectional study. Data diambil dari rekam medik pasien dan bagian keuangan rumah sakit secara retrospektif. Kriteria inklusi adalah pasien dengan diagnosis utama DM dengan/tanpa komplikasi baik rawat jalan maupun inap di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta periode Januari sampai Juni 2014. Biaya yang dihitung adalah biaya medis langsung (perspektif rumah sakit). Analisis deskriptif digunakan untuk mengetahui distribusi karakteristik subjek penelitian dan alokasi biaya. Uji korelasi bivariate untuk mengetahui hubungan komponen biaya dan biaya terapi DM. Uji T dua sampel independen untuk uji perbedaan biaya rata-rata DM tanpa komplikasi dan dengan komplikasi untuk data terdistribusi normal, sedangkan apabila data tidak terdistribusi normal digunakan uji Mann-Whitney. Hasil penelitian menunjukkan bahwa total biaya pasien DM Rp 816.967.440,00 (55,58% rawat inap dan 44,42% rawat jalan). Komponen biaya yang paling berpengaruh adalah biaya obat, kecuali pada rawat inap DM dengan komplikasi (biaya tindakan medik). Nephropati merupakan komplikasi yang menggunakan biaya ratarata tertinggi sebesar Rp 556.940,00 ± 535.451(rawat jalan) dan retinopati sebesar Rp 9.780.350,00 ± 3.739.534 dalam satu episode rawat inap. Tidak terdapat perbedaan signifikan antara biaya rata-rata DM tanpa komplikasi dan dengan komplikasi, kecuali pada biaya terapi pasien rawat inap kelas III. Kata kunci: komplikasi, diabetes melitus, komponen biaya
Journal of Management and Pharmacy Practice | 2014
Partini Partini; Tri Murti Andayani; Satibi Satibi
Undang-undang Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit pasal 15 ayat 3 menyebutkan bahwa pengelolaan alat kesehatan, sediaan farmasi, dan bahan habis pakai di rumah sakit harus dilakukan oleh instalasi farmasi sistem satu pintu. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kepuasan pasien IFRS dr. Soeradji Tirtonegoro dan Apotek Kimia Farma, tingkat keterjaringan pasien, lost of profit dan untuk mengetahui faktor – faktor yang mempengaruhi pelaksanaan sistem pelayanan farmasi satu pintu. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian survei yang bersifat analitik, dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Data dikumpulkan dari kuesioner yang diperoleh dari manajemen dan staf rumah sakit sebanyak 98 orang untuk kuesioner pelaksanaan sistem farmasi satu pintu. Pasien yang menebus obat di instalasi farmasi rumah sakit sebanyak 345 orang dan Apotek Kimia Farma sebanyak 385 orang untuk kuesioner kepuasan pasien, serta data kunjungan pasien dan penjualan yang ada di rumah sakit. Analisis yang digunakan untuk pelaksanaan sistem farmasi satu pintu adalah dengan menggunakan pengujian secara parsial dengan t-test yang selanjutnya dilakukan analisis regresi sedangkan untuk kepuasan pasien menggunakan SERVQUAL/analisis gap. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum kepuasan pasien di instalasi farmasi masih lebih tinggi daripada di Apotek Kimia Farma. Tingkat keterjaringan pasien rawat jalan di instalasi farmasi pada bulan Januari sampai dengan Maret 2014 rata-rata sebesar 21,08%, dan lost of profit di instalasi farmasi adalah Rp. 623.255.384,- per bulan atau sekitar 26,87% dari total penjualan di rumah sakit. Faktor yang mempengaruhi pelaksanaan pelayanan farmasi satu pintu yaitu administrasi (p=0,008) dan service delivery (p=0,028). Kata kunci : pelayanan farmasi, satu pintu, IFRS