Alan R. Tumbelaka
University of Indonesia
Network
Latest external collaboration on country level. Dive into details by clicking on the dots.
Publication
Featured researches published by Alan R. Tumbelaka.
Scientific Programming | 2016
Hindra Irawan Satari; Sri Rezeki Hadinegoro; Alan R. Tumbelaka; Hardjono Abdoerrachman; Htay H Han; Hans L. Bock
Untuk menilai reaktogenitas dan imunogenitas vaksin varisela hidup yang dilemahkan (galur-Oka) pada anak sehat. Studi deskriptif dilakukan pada 300 anak yang berumur 1- 12 tahun dan dibagi menjadi 3 subgrup menurut umur (1 -<3 tahun, 3 -<7 tahun, 7- 12 tahun). Sebelum penelitian anak-anak tersebut dimintakan kesediaan dari orang tuanya secara tertulis, dilakukan anamnesis mengenai riwayat varisela sebelumnya, dan pemeriksaan titer anti-varisela. Dalam kurun waktu waktu 2 minggu apabila hasil negatif, maka diberikan suntikan vaksin varisela (Varilrix) 0,5 ml pada lengan deltoid kiri, setelah dilakukan pemeriksan fisis sebelumnya. Sesuai penyuntikan pada orangtua pasien diberikan kartu harian untuk mencatat suhu tubuh, gejala lokal atau umum yang terjadi setelah penyuntikan. Bila dianggap perlu, orang tua dapat membawa anak untuk diperiksa. Pada hari ke-42 dilakukan pemeriksaan fisis pada setiap anak dilanjutkan dengan pengambilan darah pasca vaksinasi. Kartu harian dikumpulkan kembali untuk dianalisis. Penelitian dilakukan di Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM Jakarta, dari tanggal 3 Mei 1998 sampai dengan 22 Oktober 1998. Seluruh sediaan arah pravaksinasi diperiksa di Laboratorium Bioanalytical Research Corporation (Barc) Jakarta dengan metode ELISA. Separuh diantara spesimen disimpan menunggu separuh spesimen darah pravaksinasi yang akan dikirim ke Rixenstat, Belgia untuk diperiksa ulang titer pra vaksinasi sekaligus memeriksa titer pasca vaksinasi, dengan metode Indirek Immunoflouresent test (IIF). Dari 300 anak yang masuk dalam penelitian ada 5 anak yang tidak menyelesaikan penelitian. Reaksi umum (9,80%) lebih banyak dijumpai daripada reaksi lokal (1%). Demam tinggi didapatkan pada 3 anak (1,7%), tiga diantaranya disangka (probable/suspected) ada hubungannya dengan tindakan vaksinasi. Subyek yang memperlihatkan gejala ruam tidak menunjukan gejala demam tinggi. Semua gejala tadi menghilang tidak lebih dari 5 hari. Enam minggu setelah penyuntikan hanya satu subyek yang tidak menunjukkan adanya serokonversi (0,7%). Golongan umur muda menunjukkan nilai gmt yang lebih tinggi. Vaksin varisela hidup yang dilemahkan (galur Oka) pada penelitian ini aman, ditoleransi dengan baik dan mempunyai tingkat perlindungan yang tinggi pada anak 1 – 12 tahun
Scientific Programming | 2016
Ariani Dewi Widodo; Alan R. Tumbelaka
Sepsis merupakan salah satu penyebab kematian terbanyak di rumah sakit dengan mortalitas 50%-60%, meskipun dengan terapi antibiotik dan tata laksana suportif yang adekuat. Steroid merupakan pilihan terapi pada sepsis yang masih kontroversial sejak empatpuluh tahun yang lalu. Muncul pertanyaan klinis, apakah pemberian steroid memberikan respon terapi lebih baik dan meningkatkan kesintasan pada sepsis dibandingkan terapi konvensional? Ilustrasi kasus dan penelusuran kepustakaan menggunakan instrumen pencari Pubmed, Highwire, dan Cochrane Library sesuai kata kunci. Pada penelusuran didapatkan 16 artikel yang relevan 4 telaah sistematik, 9 uji klinis acak terkontrol, 1 kohort, dan 2 review. Levels of evidence ditentukan berdasarkan klasifikasi Oxford atau Methodologic Quality Form dari Cronin. Kortikosteroid dosis rendah jangka panjang sebaiknya diberikan pada semua syok septik dependen vasopresor. Kortikosteroid tidak dianjurkan pada sepsis tanpa syok. Kortikosteroid dosis tinggi dapat membahayakan pada sepsis berat dan syok septik. Steroid diberikan berdasarkan keputusan klinis, bukan hasil laboratorium maupun protokol. Kortikosteroid memperbaiki keadaan syok septik persisten dan lebih cepat memulihkan gangguan hemodinamik, sehingga menurunkan mortalitas
Scientific Programming | 2016
Amar Widhiani Adisasmito; Alan R. Tumbelaka
Pendahuluan. Rumah sakit dan unit perawatan intensif (ICU) merupakan breeding ground atau tempat berkembangnya bakteri. Strategi pemberian antibiotik yang terbaik adalah dengan membatasi penggunaan antibiotik yang tidak terindikasi dan mengurangi lama penggunaan antibiotik. Tujuan. Tujuan penelitian ini adalah mengevaluasi penggunaan antibiotik pada infeksi bakteri Gram negatif, mencakup latar belakang diagnosis klinis dan lama penggunaan antibiotik. Metoda. Metode penelitian retrospektif – deskriptif selama periode satu tahun antara Oktober 2001 hingga September 2002. Penelitian dilakukan di ICU Anak RSAB Harapan Kita Jakarta. Hubungan bakteri Gram negatif dan antibiotik akan ditampilkan dalam grafik Pearson correlation. Risiko relatif (RR) untuk mengetahui 1) Lama terapi cefotaxime mempengaruhi timbulnya resistensi cefotaxime 2) Lama perawatan akan mempengaruhi timbulnya resistensi. Hasil. Dari semua kelompok umur ditemukan 49 pasien ( 52,7%) dicurigai pneumonia, 15 pasien ( 16,1%) dengan sepsis, 7 pasien ( 7,5%) dengan infeksi saluran kencing, 35 pasien ( 37,6%) dengan gastroenteritis dan 12 pasien ( 12,9%) dengan bakteremia. Pada grafik Pearson correlation menunjukkan pada pemakaian sulbactam ampicillin yang makin lama, maka resistensi bakteri Gram negatif terhadap antibiotik ini makin tinggi. Hal yang sama juga terjadi pada pemakaian antibiotik ampicillin dan amikacin. Perawatan inap yang memanjang juga akan meningkatkan resistensi bakteri Gram negatif ( P.aeruginosa dan Enterobacter sp) terhadap cefotaxime dengan RR >1. Kesimpulan. Patogen yang paling utama adalah E.coli, Pseudomonas sp, Klebsiella sp dan Enterobacter sp, dua patogen yang terakhir adalah yang paling dominan dari extented spectrum β lactamases producing-enterobacteriaceae (ESBLPE).
Scientific Programming | 2016
Diana Mettadewi Jong; Adji Suranto; Hartono Gunardi; Alan R. Tumbelaka
Indonesia merupakan wilayah dengan endemis tinggi hepatitis B, maka vaksinasi hepatitis B (hep B) merupakan solusi terbaik untuk mencegah penyakit ini. Kombinasi hep B dengan DPwT (pertusis whole cell) = sel utuh dalam satu kemasan, memberikan kenyamanan pada pasien dan memudahkan pelayanan kesehatan. Di samping keuntungan ini, kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) vaksin ini perlu diperhitungkan. Untuk mengetahui KIPI vaksin ini, dilakukan studi prospektif pada 74 bayi berumur 2-6 bulan di Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSCM Jakarta antara Juli 2000 sampai dengan Maret 2001. Bayi-bayi tersebut diberi 3 dosis vaksin kombinasi DPT dan hep B (DPwT/hep B) dengan selang waktu 5 minggu. Kartu observasi harian terhadap gejala yang timbul selama 5 minggu pasca imunisasi diisi orangtua dan data dikumpulkan pada kunjungan berikutnya. Umumnya KIPI timbul kurang dalam 72 jam setelah pemberian vaksin. Frekuensi KIPI tersering adalah demam (58,8%) diikuti oleh rewel (31,7%) dan demam tinggi (16,2%). Kejang umum timbul pada 1 kasus setelah pemberian dosis pertama dan pada 1 kasus lain kejang disertai demam tinggi. Setelah pemberian dosis ketiga pada kedua kasus tersebut, pasien mendapat antipiretik dan kejang berhenti tanpa pengobatan anti kejang. Tidak ditemukan KIPI pada vaksin DPwT/hep B yang memerlukan perawatan di rumah sakit. KIPI yang didapatkan umumnya bersifat ringan sampai sedang.
Scientific Programming | 2016
Patria Vittarina S; Alan R. Tumbelaka
Dilaporkan seorang anak perempuan berumur 6 tahun dengan herpes zoster oftalmikus sinistra diseminata yang mengalami infeksi sekunder. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anammesis dan gambaran klinis yang khas berupa erupsi unilateral dan terbatas pada daerah kulit yang dipersarafi oleh satu ganglion sensorik. Komplikasi herpes zoster pada mata relatif tinggi terutama bila mengenai saraf trigeminus cabang nasosiliaris. Pasien diobati dengan asiklovir 5x200 mg dan, seftriakson 2x500 mg. Pada mata kiri diberikan asiklovir salep mata, air mata buatan, xitrol dan sulfas atropin. Lesi kulit dikompres dengan larutan NaCl 0,9% lalu diberikan salep asam fusidat. Evaluasi pada hari keempat perawatan menunjukkan vesikel sudah menghilang, terdapat krusta kuning kehitaman dan pada fase penyembuhan hari keduabelas, pada daerah perut terdapat bercak-bercak hipopigmentasi. Pemeriksaan mata menunjukkan adanya perbaikan, tanpa meninggalkan gejala sisa.
Scientific Programming | 2016
Alan R. Tumbelaka
D alam sepuluh tahun terakhir, pedoman klinis telah menjadi sesuatu alat yang sangat erat dengan praktek klinis kedokteran. Hampir setiap hari, keputusan klinis di kamar praktek, standar operasi di rumah sakit dan klinik, serta kebijakan kesehatan pemerintah dan perusahaan asuransi mendapat pengaruh atau asupan dari pedoman klinis yang ada. Clinical guidelines didefinisikan sebagai aturan yang dibuat secara sistematis untuk membantu para praktisi dalam penanganan pasien, untuk pelayanan kesehatan yang tepat dalam situasi yang spesifik. Pedoman ini dapat berisi tentang cara pemilihan prosedur diagnostik maupun skrining, cara memberikan pelayanan medis maupun bedah, seberapa lama pasien harus dirawat, dan rincian lainnya
Paediatrica Indonesiana | 2016
Rismala Dewi; Alan R. Tumbelaka; Damayanti Rusli Sjarif
Scientific Programming | 2016
Raihan Raihan; Sri Rezeki Hadinegoro; Alan R. Tumbelaka
Archive | 2001
Sylvia Retnosari; Alan R. Tumbelaka; Arwin P. Akib
Scientific Programming | 2016
Sri Rezeki Hadinegoro; Alan R. Tumbelaka; Hindra Irawan Satari