Suryadi N.N. Tatura
Sam Ratulangi University
Network
Latest external collaboration on country level. Dive into details by clicking on the dots.
Publication
Featured researches published by Suryadi N.N. Tatura.
American Journal of Tropical Medicine and Hygiene | 2018
Johnny Rompis; Priscilla Kalensang; Suryadi N.N. Tatura; Elizabeth Clarissa Wowor; Jose M. Mandei; Rocky Wilar; Sarah M. Warouw; Joseph Tuda
Severe congenital malaria associated with Plasmodium vivax is uncommon. In Indonesia, most congenital malaria cases are due to Plasmodium falciparum infections. Most cases of congenital or neonatal malaria in endemic areas are diagnosed from peripheral smear as part of routine sepsis workup. Differentiating congenital and acquired neonatal malaria is very difficult. The case presented in this study describes severe P. vivax malaria with cholestatic jaundice and sepsis-like signs and symptoms in neonates. The mother was asymptomatic and the neonate was successfully treated with intravenous artesunate. Severe P. vivax malaria with cholestatic jaundice in neonates is an uncommon condition that should be included in the differential diagnosis of infants displaying hemolytic anemia, thrombocytopenia, cholestatic jaundice, and hepatosplenomegaly in malaria-endemic zones. Early diagnosis can prevent the use of unnecessary antibiotics and mortality of neonates.
Scientific Programming | 2017
Rudy Ciulianto; Max Mantik; Rocky Wilar; Suryadi N.N. Tatura
Latar belakang . Interleukin-6 memiliki potensi untuk menilai respon pengobatan selain sebagai biomarker sepsis. Tujuan . Menentukan peran IL-6 dalam mengevaluasi respon pengobatan pada sepsis neonatorum awitan dini (SNAD). Metode . Kami melakukan penelitian potong lintang dengan sampel SNAD yang memenuhi kriteria penelitian dengan jumlah sampel sebanyak 40 bayi dan mendapatkan informed consent dari orang tua serta persetujuan komite etik RSUP Kandou. Analisis data menggunakan uji Wilcoxon dan uji t berpasangan. Hasil . Dari 40 sampel, terdapat 12 bayi laki-laki dan 3 bayi perempuan mengalami respon buruk. IL-6 sebelum dan sesudah terapi antibiotik pada kelompok respon baik memiliki nilai median 16,32 (Qd 5,23) dan 0,56 (Qd 0,46). Kelompok respon buruk memiliki nilai rerata IL-6 120,89 (SB 87,35) dan 503,71 (SB 479,97). Hasil uji Wilcoxon menyatakan penurunan IL-6 yang sangat bermakna terhadap kelompok respon baik (p<0,0001), begitu juga pada kelompok respon buruk terjadi peningkatan yang sangat bermakna dengan hasil uji t berpasangan (p=0,004). Kesimpulan . IL-6 merupakan biomarker yang dapat dipertimbangkan untuk menilai respon pengobatan pada SNAD, IL-6 akan menurun jika diberikan antibiotik yang tepat.
Asian Pacific Journal of Tropical Medicine | 2017
Suryadi N.N. Tatura; Stefanus Gunawan; Janno Bernadus; Sianne Sandjoto
In Indonesia, there are at least 1.3 million cases of malaria each year and Plasmodium falciparum appears to be the most common Plasmodium. The finding of Plasmodium is important for the diagnosis and management of malaria. This is a case of a 4-year-and-9-month-old male who lived in Manado, East Indonesia. He presented with a prolonged fever, was pale in appearance, and was easily fatigued over the last 3 weeks. Hepato-splenomegaly was found on the initial physical examination. Preliminary laboratory findings found pancytopenia and severe anemia. Before he was referred to our hospital, at the primary health center, the initial work-up was negative for Plasmodium with the serial Rapid Diagnostic Test and microscopic peripheral blood smears. Since there were signs and symptoms mimicking malignancy, the patient was referred to our hospital for further malignancy work-up. A bone marrow puncture was done and we incidentally found Plasmodium falciparum in a microscopic bone marrow smear. This was a rare case because Plasmodium was not initially found in the preliminary work-up (Rapid Diagnostic Test and Microscopic) and qPCR is not a routine work-up for Plasmodium suspected patients. Although the mortality rate of malaria is high, this condition can be treated if the clinician was aware of the clinical signs and symptoms in the early onset and prompt medical treatment is administered. In a severe case with an unclear etiology of fever and with signs and symptoms mimicking malignancy, qPCR is recommended. However, a bone marrow puncture can also be considered to exclude the possibility of a malaria infection.
Scientific Programming | 2016
Rocky Wilar; Yulia Antolis; Suryadi N.N. Tatura; Stefanus Gunawan
Latar belakang. Sepsis neonatorum merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada neonatus di negara berkembang. Penelitian terdahulu menunjukkan penurunan jumlah trombosit dan peningkatan mean platelet volume (MPV) berhubungan dengan infeksi invasif atau infeksi yang tidak responsif dengan pemberian antibiotik. Tujuan. Untuk mengetahui apakah jumlah trombosit dan MPV berhubungan dengan mortalitas pada sepsis dan meneliti faktor klinis lain yang berhubungan dengan mortalitas pada sepsis neonatorum. Metode. Penelitian analisis retrospektif dari catatan medis sejak bulan Januari – Agustus 2009 di bangsal neonatus RSU Prof.Dr.R.D.Kandou, Manado. Subjek penelitian mencakup neonatus dengan sepsis yang dibuktikan melalui hasil biakan darah dan bayi dengan kelainan kongenital mayor dieksklusi. Variabel yang diteliti antara lain jumlah trombosit, MPV, berat badan lahir, usia gestasi, dan usia saat masuk rumah sakit. Analisis statistik dengan menggunakan metode analisis univariat dan analisis logistik regresi. Hasil. Terdapat 36 neonatus dengan sepsis neonatorum, di antara mereka 22 neonatus (61%) sembuh dan 14 (39%) meninggal. Hubungan jumlah trombosit dan mean platelet volume tidak bermakna secara statistik dengan mortalitas (berturut-turut, p=0,589 and p=0,59) , demikian pula halnya dengan berat lahir, usia gestasi, dan usia saat masuk rumah sakit. Kesimpulan. Tidak ada hubungan antara penurunan jumlah trombosit dan peningkatan MPV dengan mortalitas pada sepsis neonatorum.
Scientific Programming | 2016
Yose M. Pangestu; Sarah M. Warouw; Suryadi N.N. Tatura
Latar belakang. Obesitas pada remaja berkaitan dengan obesitas dan morbiditas pada orang dewasa. Strategi preventif efektif mencegah perkembangan obesitas dan morbiditas masih terbatas. Hasil studi penilaian peran 25-hydroksivitamin D (25(OH)D) terhadap obesitas dan morbiditas yang diperantarai adiponektin masih inkonklusif. Saat ini, diketahui molekul HMW adiponektin bukan adiponektin total yang berkaitan erat dengan morbiditas obesitas. Tujuan. Mengetahui hubungan antara kadar 25(OH)D dan HMW adiponektin pada remaja obes. Metode. Penelitian potong lintang pada remaja obesitas sehat berusia 10-18 tahun. Defisiensi kadar vitamin D bila 30ng/mL. Hubungan variabel dinilai menurut uji korelasi Pearson (p<0,05). Uji regresi linear dilakukan untuk mendapatkan persamaan parametrik. Hasil. Empat puluh empat remaja obes terdiri atas 41% laki-laki dan 59% perempuan, rerata usia 14,05 (SB 2,08) tahun. Remaja yang mengalami insufisiensi vitamin D 34% dan 64% terjadi defisiensi vitamin D. Kadar 25(OH)D dan HMW adiponektin remaja obes laki-laki tidak berbeda bermakna dibanding remaja obes perempuan (p=0,112 dan p=0,174). Kadar 25(OH)D yang semakin rendah akan dijumpai pula kadar HMW adiponektin yang semakin rendah dengan hubungan yang bermakna (r= 0,416; p=0,002). Kesimpulan. Semakin rendah kadar 25(OH)D maka akan semakin rendah pula kadar HMW adiponektin pada remaja obes.
Scientific Programming | 2016
Novie Homenta Rampengan; Yose M. Pangestu; Suryadi N.N. Tatura; T. H. Rampengan
Latar belakang. Insiden dan angka kematian tetanus anak masih cukup tinggi di Indonesia. Di Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSCM Jakarta, dari tahun 1990 sampai 1993 dirawat rata-rata 20,3 kasus tetanus anak per tahun dengan case fatality rate(CFR) berkisar antara 12,9 sampai 27,4%. Laporan penelitian di Manado belum ada, maka diperlukan mengetahui profil penyakit tetanus anak yang dirawat di RS Prof. Dr. R.D. Kandou, Manado. Tujuan. Mengetahui profil tetanus pada anak yang dirawat di RSUP Prof. Dr. R.D. Kandou Manado Metode. Reviewretrospektif anak yang didiagnosis tetanus di RS Prof. Dr. R.D. Kandou Manado dari Januari 2002-Januari 2012. Data dianalisis secara deskriptif. Hasil. Empat puluh anak tetanus berusia 1-11 tahun, 65% kasus laki-laki, dengan fokus infeksi terbanyak otitis media 21 (52,5%). Sebagian besar (45%) belum pernah mendapat imunisasi dasar terhadap tetanus. Masa inkubasi berkisar dari 5 hari sampai 1 bulan, dengan period of onsetterpendek 10 jam. Komplikasi terbanyak bronkopneumonia (19 pasien) dan 6 pasien meninggal.Period of onsettetanus anak yang meninggal lebih singkat secara bermakna dibandingkan yang hidup (1,12 vs 3,32 hari (p=0,004)), demikian pula antara tetanus berat dan ringan sedang (1,85 vs 3,85 (p=0,02)). Lama perawatan rata-rata yang diberi antitoksin tetagam(human antitetanus serum)tidak berbeda bermakna dibandingkan yang diberi ATS yaitu 11,5 vs 14,3 hari (p=0,440). Kesimpulan. Pasien tetanus yang dirawat inap di RS Prof. Dr. R.D Kandou sejak 2002-2012 terbanyak adalah tetanus sedang. Sebagian besar pasien belum pernah diimunisasi terhadap tetanus. Period of onsetpasien tetanus yang meninggal ataupun tetanus berat lebih singkat dibandingkan yang hidup ataupun tetanus ringan sedang. Lama rawat pasien yang diberi antitoksin tetagam dan ATS tidak berbeda
Paediatrica Indonesiana | 2009
Suryadi N.N. Tatura; Novie Homenta Rampengan; Jose M. Mandei; Ari L. Runtunuwu; Max Fj Mantik; T. H. Rampengan
Background Dengue shock syndrome (DSS) is characterized by severe vascular leakage and hemostasis disorder. It is the cause of death in 1 to 5 percent of cases. WH 0 management guidelines for resuscitation remain empirical rather than evidence-based. Objective To find out the alternative fluids to replace plasma leakage in DSS. Methods We performed a prospective study and randomized comparison of plasma and gelatin solution for resuscitation of Indonesian children with DSS. We randomly assigned 25 subjects with DSS to receive plasma and 25 children to receive gelatin fluid. Statistical analyse were performed using chi-square test, Fishers exact test, t test, Mann-Whitney test. Results The increment of pulse pressure width and the decrement of hematocrit in subjects treated with gelatin were higher than that of plasma atfour-hour therapy (P=0.002 and P=0.017). Only one patient died caused by unusually manifestation of DSS. The increment of body temperature in subjects treated with plasma was higher than that of gelatin at four-hour therapy (P=O.Oll). The decrement of platelet count in subjects treated with gelatin were less than that of plasma (P=0.018). The increment of diuresis rate in subjects treated with gelatin was higher than that of plasma at twenty-hour therapy (P 0.05). Conclusions Gelatin solution can be used as volume replacement in resuscitation of DSS if blood plasma is not available especially at four-hour therapy.
Scientific Programming | 2016
Stefanus Gunawan; Felix Candra Sutanto; Suryadi N.N. Tatura; Max Mantik
Paediatrica Indonesiana | 2017
Winston Leonardo Tanzil; Rocky Wilar; Max Mantik; Adrian Umboh; Suryadi N.N. Tatura
Paediatrica Indonesiana | 2016
Suryadi N.N. Tatura; Dasril Daud; Irawan Yusuf; Sitti Wahyuni; Janno Bernadus