Network


Latest external collaboration on country level. Dive into details by clicking on the dots.

Hotspot


Dive into the research topics where Endang Windiastuti is active.

Publication


Featured researches published by Endang Windiastuti.


International Journal of Hematology | 2002

Some hematological problems in Indonesia

Ina S. Timan; Diana Aulia; Djumhana Atmakusuma; Aru W. Sudoyo; Endang Windiastuti; Agus Kosasih

Indonesia consist of many island inhabited by many ethnic groups with different social economic condition. As in other parts of the world, anemia is still one of the major health problem in Indonesia. The reported anemia prevalence differs in each area and age groups, ranging from 5.4% in well nourished preschool children to 56.3% in primary school children; and 19% to 62.5% in pregnant women. The causes of anemia mostly reported were nutritional like iron deficiency, abnormal hemoglobin besides other conditions. In Cipto Mangunkusumo Hospital as the national referral hospital in Indonesia, in the adults groups, the cause of anemia reported were 14% with iron deficiency, 54% aplastic, 16% hemolytic and 16% other causes. Whereas in the child health department the cause were 29% nutritional deficiency, 31% thalassemia, 10% aplastic, 4% hemolytic and 26% other causes. Thalassemia is quite often reported in Indonesia. In 1955 Lie-Injo first reported the HbE as the most frequently found abnormality among many ethnic groups in Indonesia, ranging from 2.5% to 13.2%. In later studies the prevalence reported varies very much. It was reported as 9.5% in newborns, 22% in pregnant women, and 15.95% to 60% in athletes. The carrier frequency in some areas was between 6–10%, while the pattern of mutation varied widely within each region. Hemophilia cases in Indonesia is still not diagnosed adequetely, only 530 cases were reported. The problems were lack of diagnostic laboratories and awareness. As many as 56.9% of the hemophilia patients who received cryoprecipitate were reported positive with HCV antibody. Hematological malignancy is now also became an increasing problem in Indonesia, in child health department the prevalence of leukemia was 57%, and lymphoma 13% among other malignancies. In National Cancer hospital, the prevalence leukemia as diagnosed using morphology and flowcytometry, were 51.4% AML, 19.7% B-ALL, 14.6% T-ALL, 4.5% preB-ALL, with 9.8% cases with co expression, and 30% other malignancies. Due to geographical situation, economic condition and lack of diagnostic laboratory facility many abnormalities were unable to be diagnosed properly.


Scientific Programming | 2016

Hepatoblastoma di Rumah Sakit Dr. Ciptomangunkusumo Jakarta: peran kemoterapi preoperatif

Ringoringo Hp; Endang Windiastuti; Djajadiman Gatot

Latar belakang: hepatoblastoma adalah tumor yang jarang ditemukan, namun merupakan tumor ganas primer hati yang paling banyak pada masa kanak-kanak. Sejak diperkenalkan rejimen kemoterapi untuk penanganan hepatoblastoma, angka kelangsungan hidup pasien meningkat. Tujuan penelitian: untuk mengetahui profil hepatoblastoma anak di Departemen Ilmu Kesehatan Anak RS Cipto Mangunkusumo Jakarta dan menilai efektifitas kemoterapi preoperatif Bahan dan Cara: sampel penelitian adalah semua pasien hepatoblastoma baru yang dirawat di Divisi Hematologi Onkologi Departemen IKA FKUI RSCM, Pebruari 1999 sampai dengan Pebruari 2005. Diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran histopatologi jaringan tumor. Sebelum mendapatkan kemoterapi, dilakukan pemeriksaan kadar alfa feto protein serum (AFP) dan pemeriksaan radiologis untuk menentukan stadium penyakit. Semua pasien mendapat kemoterapi menurut protokol PLADO yang terdiri dari sisplatin (80 mg/kgBB/hari) dan doksorubisin (30 mg/kgBB/hari). Evaluasi respons pengobatan dilakukan setelah pasien mendapat kemoterapi minimal sebanyak 2 siklus, berupa pemantauan klinis, pemeriksaan kadar AFP, dan pemeriksaan USG / CT scan abdomen. Operasi pengangkatan tumor dilakukan bila setelah pemberian kemoterapi massa tumor dianggap dapat direseksi. Hasil: selama kurun waktu 6 tahun terdapat 14 pasien hepatoblastoma rentang usia antara 3 bulan sampai 54 bulan, dengan median 7 bulan. Enam pasien laki-laki dan 8 pasien perempuan. Semua pasien datang dengan keluhan utama perut yang semakin membesar. Kadar AFP meningkat pada semua pasien dengan median 323 ng/ml. Pemeriksaan USG, CT scan dan MRI abdomen menunjukkan massa tumor ditemukan pada kedua lobus hati pada 7 pasien, sedang pada 7 pasien lainnya massa tumor hanya pada 1 lobus. Semua pasien datang pada stadium III. Biopsi hati yang dilakukan, menunjukkan gambaran histopatologi jenis epitelial fetal (9), epitelial mesenkimal (2), epitelial fetal-embrional (1), dan 1 jenis mesenkimal. Pada 1 pasien konfirmasi diagnosis hanya berdasarkan pemeriksan CT scan abdomen dan kadar AFP. Pemberian kemoterapi preoperatif (protokol PLADO) pada 8 pasien menunjukkan respons yang cukup baik, yang ditandai oleh pengecilan massa tumor dan penurunan kadar AFP. Kesimpulan: Umumnya pasien hepatoblastoma datang dalam stadium lanjut dan pemberian kemoterapi preoperatif menunjukkan respons yang baik untuk selanjutnya dapat dilakukan tindakan pembedahan.


Scientific Programming | 2016

Toksisitas Kemoterapi Leukemia Limfoblastik Akut pada Fase Induksi dan Profilaksis Susunan Saraf Pusat dengan Metotreksat 1 gram

Ketut Ariawati; Endang Windiastuti; Djajadiman Gatot

Latar belakang. Toksisitas kemoterapi dipengaruhi oleh sifat antiproliferasi obat sitostatik dan akan merusak sel yang mempunyai aktivitas proliferasi yang tinggi. Oleh sebab itu pemberian kemoterapi dapat menimbulkan efek samping. Tujuan. Mengetahui efek samping kemoterapi leukemia limfoblastik akut (LLA) pada fase induksi dan fase profilaksis susunan saraf pusat secara klinis maupun laboratorium Metode. Penelitian retrospektif deskriptif terhadap semua pasien leukemia limfoblastik akut baru dalam periode Januari 2005 – Desember 2006 di Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM Jakarta Hasil. Didapatkan 41 pasien yang memenuhi kriteria inklusi dari 126 kasus baru LLA, terdiri dari pasien risiko tinggi (12 orang), dan risiko biasa (29 orang). Median usia 5,5 tahun, median lama pengamatan 39 minggu. Remisi setelah fase induksi didapatkan 86,2% pada risiko biasa, 75% pada risiko tinggi. Pada fase induksi penurunan terendah terjadi setelah pemberian kemoterapi yang pertama dan kedua. Pada fase profilaksis penurunan kadar hemoglobin, leukosit, ANC, trombosit yang terendah terjadi bervariasi yaitu setelah pemberian metotreksat (MTX) 1 g/m2 yang pertama, kedua, dan ketiga. Peningkatan kadar SGOT/ SGPT yang tertinggi yaitu 7 – 12 kali normal terjadi pada fase induksi minggu kedua, sedangkan pada fase profilaksis peningkatan tertinggi yaitu 8,5 – 10 kali normal terjadi setelah pemberian (MTX) 1 g/m2 yang pertama. Didapatkan 7 orang dengan neuropati perifer setelah pemberian vinkristin yang kedua. Kesimpulan. Toksitas kemoterapi LLA pada fase induksi terjadi setelah pemberian kemoterapi yang pertama dan kedua, sedangkan pada fase profilaksis SSP dengan MTX 1gram/m2 terjadi setelah pemberian pertama, kedua, dan ketiga.


Scientific Programming | 2016

Etiologi Demam Neutropenia pada Anak dengan Keganasan dan Penggunaan Skor Klasifikasi Rondinelli

Adrieanta Adrieanta; Endang Windiastuti; Setyo Handryastuti

Latar belakang. Pasien anak dengan keganasan dapat mengalami episode demam neutropenia. Pada demam neutropenia, di tiap pusat pelayanan kesehatan, etiologi bakterimia berbeda dan berubah secara periodik. Antibiotik empiris diberikan pada pasien demam neutropenia berdasarkan klasifikasinya. Skor Rondinelli untuk menentukan klasifikasi pasien demam neutropenia menjadi risiko rendah dan risiko tinggi. Tujuan. Mengetahui karakteristik etiologi dan perjalanan klinis demam neutropenia pada anak dengan keganasan yang dirawat inap di Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSCM. Metode . Penelitian ini adalah deskriptif retrospektif. Sampel diambil dari data sekunder berupa rekam medis pasien anak dengan keganasan yang mengalami demam neutropenia yang menjalani rawat inap di bangsal Departemen IKA FKUI/RSCM mulai bulan Januari 2010 sampai dengan September 2013. Hasil. Penelitian dilakukan pada 86 pasien anak yang mengalami 96 episode demam neutropenia yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Prevalensi bakterimia pada episode demam neutropenia dengan keganasan 17%. Proporsi kuman penyebab terbanyak bakterimia adalah Staphylococcus sp (25%), Pseudomonas aeruginosa (25%), Klebsiella pneumonia (19%), dan Escherichia coli (13%). Penelitian ini mendapatkan 40% luaran sembuh, 49% luaran tidak sembuh, dan 6% meninggal dunia. Berdasarkan skor Rondinelli, episode demam neutropenia risiko rendah yang memiliki luaran sembuh didapatkan 30 (61%) dan risiko tinggi 13 (28%). Kesimpulan. Sebagian besar hasil kultur darah pada demam neutropenia adalah steril. Penyebab terbanyak bakterimia adalah kuman Gram negatif. Demam neutropenia memiliki morbiditas yang tinggi. Skor Rondinelli dapat digunakan untuk melakukan klasifikasi demam neutropenia pada anak dengan keganasan.


Scientific Programming | 2016

Profil Parameter Hematologik dan Anemia Defisiensi Zat Besi Bayi Berumur 0-6 Bulan di RSUD Banjarbaru

Ringoringo Hp; Endang Windiastuti

Latar belakang. Anemia defisiensi besi (Fe) masih merupakan salah satu masalah utama di dunia, terutama di negara-negara berkembang. Prevalensi anemia yang tinggi akan berdampak terhadap tumbuh kembang anak. Diperkirakan 20%-25% bayi di dunia menderita anemia defisiensi besi, data Survei Kesehatan Rumah Tangga di Indonesia tahun 1995 menunjukkan bahwa 50% wanita hamil dan 40,5% balita menderita anemia defisiensi Fe. Tujuan. Untuk mengetahui profil parameter hematologik dan prevalens anemia defisiensi Fe pada bayi berusia 0-6 bulan di RSUD Banjarbaru Kalimantan Selatan. Metoda. Sampel penelitian ini adalah semua bayi yang lahir di RSUD Banjarbaru dan bayi datang untuk diimunisasi di Poliklinik Imunisasi RSUD Banjarbaru, berumur 0-6 bulan, sejak tanggal Juli 2005 sampai dengan September 2005. Definisi anemia defisiensi Fe apabila kadar Hb 13. Hasil. Jumlah bayi yang memenuhi kriteria inklusi terdapat 104 bayi terdiri dari 53 bayi laki-laki (51%) dan 51 bayi perempuan (49%) dengan rentang umur 1 hari sampai dengan 6 bulan. Semua bayi lahir cukup bulan dengan berat lahir rata-rata 3150 gram ± 486,7 gram. Profil parameter hematologik menunjukkan nilai normal, kecuali Hb dan MCHC. Prevalens anemia defisiensi Fe terdapat pada 38,5% bayi. Faktor risiko berat lahir dan jenis kelamin untuk terjadinya anemia defisiensi Fe pada penelitian ini tidak bermakna (p>0,05). Kesimpulan. Profil hematologik menunjukkan nilai normal kecuali Hb dan MCHC dan prevalens anemia defisiensi Fe adalah 38,5%.


Scientific Programming | 2016

Penanganan Nyeri pada Keganasan

Damayani Farastuti; Endang Windiastuti

Kasus seorang anak dengan retinoblastoma residif mata kiri stadium IV yang tidak responsif dengan sitostatika. Dalam perjalanan penyakitnya, masa tumor makin membesar dan menimbulkan keluhan nyeri. Nyeri pada pasien ini dapat disebabkan oleh aktivitas nosiseptor akibat regangan dan destruksi tulang, dan nyeri neuropatik akibat penekanan pada saraf di sekitar tumor. Penanganan nyeri dimulai dengan pemberian preparat AINS (anti inflamasi non steroid) yaitu natrium diklofenak dan parasetamol namun tidak dapat mengatasi keluhan pasien. Pasien kemudian diberikan tramadol supositoria dan natrium diklofenak gel. Masa tumor yang terus membesar membuat frekuensi dan intensitas nyeri yang dirasakan bertambah hebat, dan tidak dapat lagi diatasi dengan terapi AINS. Pasien mengalami gangguan tidur, nafsu makan, dan juga menjadi sangat rewel. Berdasarkan rekomendasi WHO, maka terapi yang harus diberikan selanjutnya adalah golongan opioid kuat. Pasien diberi morfin oral 2 mg, 3 kali sehari, tramadol supositoria, dan natrium diklofenak gel. Keluhan nyeri teratasi dengan obat-obat tersebut. Tiga minggu kemudian, pasien kembali mengalami nyeri hebat. Hal ini disebabkan karena ibu tidak memberikan obat sesuai dengan jadwal yang dianjurkan, dengan alasan takut terjadi ketergantungan pada morfin. Dalam hal ini, peran dokter untuk memberikan informasi sejelas-jelasnya sangat penting, mencakup alasan pemberian morfin, dosis, efek samping, dan kemungkinan toleransi.


Paediatrica Indonesiana | 2009

Academic achievement of elementary school-aged children with pre-anemic iron-deficiency

Paul Wiratama Pardede; Endang Windiastuti; Bambang Tridjaja

Background Relationship between iron deficiency and cognitive function has been investigated in many studies, but they usually focused on iron deficiency anemia. Brain iron storage might have already decreased before anemia exist. Objectives To investigate the prevalence of pre-anemic irondeficiency in school-aged children and to determine whether this condition is a risk factor for low academic achievement. Methods A cross-sectional study was conducted on 87 subjects of znd,6th grade in SDN 04 Petang, Kramat, Senen, Jakarta on August 2008. The subjects underwent peripheral blood and ferritin serum concentration examinations. Twentynine subjects who suffered from anemia were excluded. The remaining 58 subjects were classified into normal body iron status group and preanemic iron-deficiency group. Results The prevalence of pre-anemic iron-deficiency in SDN 04 Petang, Kramat was 6%. The prevalence ratio to determine whether pre-anemic iron-deficiency was a risk factor for low academic achievement could not be calculated because the minimal sample number required was not reached. There was no relationship between pre-anemic iron-deficiency and low academic achievement for mathematics, Indonesian language, science, and social science. Conclusions The prevalence of pre-anemic iron-deficiency in SDN 04 Petang, Kramat Senen Jakarta was 6%. This study is not able to determine whether pre-anemic iron-deficiency is a risk factor for low academic achievement in school-aged children; therefore further study with more efforts to detect the presence of iron deficiency in children with inflammation is needed.


Scientific Programming | 2007

Perjalanan Penyakit Purpura Trombositopenik Imun

Elizabeth Yohmi; Endang Windiastuti; Djajadiman Gatot

Latar belakang. Purpura trombositopenia imun merupakan kelainan hematologi yang umum dijumpai, ditandai dengan penurunan jumlah trombosit disertai manifestasi perdarahan berupa perdarahan kulit. Tata laksana yang terbanyak adalah pemberian kortikosteroid baik dalam bentuk tunggal atau kombinasi. Sebagian besar pasien akan mengalami remmisi dalam 6 bulan, sedang selebihnya dapat menjadi kronik. Tujuan. Mendapatkan gambaran klinis, respons terhadap terapi dan perjalanan penyakit anak dengan purpura trombositopenik imun (PTI) di Departemen Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Metoda. Dilakukan penelusuran data rekam medis pada anak (usia 0-18 tahun) dengan PTI baru yang berobat ke Divisi Hematologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo antara Juli 2003 sampai Mei 2006. Hasil. Enam puluh enam pasien dengan PTI berhasil diidentifikasi, terdiri dari 43 laki-laki dan 23 perempuan, usia rerata 4,78 tahun (rentang 1 bulan – 14,9 tahun; puncaknya usia 2-5 tahun). Manifestasi perdarahan terbanyak berupa petekie (59) diikuti epistaksis (12), perdarahan mukosa mulut (8), perdarahan subkonjungtiva (5), hematemesis/melena (4), dan hematuria (3). Tujuh belas mengalami lebih dari 1 gejala. Tidak ada yang mengalami perdarahan intrakranial maupun meninggal dunia. Pemeriksaan aspirasi sumsum tulang dilakukan pada 15 pasien dan hanya 1 yang menunjukkan gangguan pematangan sistem granulopoetik. Tujuh belas pasien tidak mendapatkan terapi dan hanya memerlukan observasi, sedang 49 pasien lainnya mendapat terapi. Pengobatan terdiri dari pemberian kortikosteroid (24/49), kortikosteroid serta transfusi trombosit (23/49), kortikosteroid dan imunosupresan (1/49), dan kortikosteroid dan imunoglobulin (1/49). Pasien PTI yang mengalami remisi sebanyak 38 pasien dan sebagian besar remisi terjadi kurang dari 6 minggu (30/38). PTI kronik didapatkan pada 9 pasien. Sembilan belas pasien tidak diketahui perjalanan penyakitnya karena tidak kontrol. Semua pasien berusia di bawah 1 tahun mengalami remisi dalam 6 bulan dan tidak ada yang menjadi kronik. Pasien berusia di bawah 10 tahun lebih banyak yang mengalami remisi dalam 6 bulan (PTI akut) dibandingkan dengan anak yang berusia di atas 10 tahun. Kesimpulan. PTI ditemukan lebih banyak pada anak laki-laki dari pada anak perempuan (1,8:1). Usia rerata awitan PTI 4,78 tahun; puncak kejadian pada usia 2-5 tahun. Manifestasi perdarahan terbanyak berupa petekie, diikuti epistaksis, perdarahan mukosa mulut, perdarahan subkonjungtiva, hematemesis/melena, dan hematuria Sebagian besar kasus sembuh dalam 6 minggu. Sebagian besar pasien mendapatkan terapi kortikosteroid, baik sebagai terapi tunggal ataupun kombinasi. Anak berusia di bawah 1 tahun semuanya mengalami remisi dan tidak ada yang menjadi kronik.


Scientific Programming | 2016

Gambaran Epidemiologi Infeksi Nosokomial Aliran Darah pada Bayi Baru Lahir

Fatima Safira Alatas; Hindra Irawan Satari; Imral Chair; Rinawati Rohsiswatmo; Zakiudin Munasir; Endang Windiastuti


Scientific Programming | 2016

Karsinoma Nasofaring pada Anak: Karakteristik, Tata Laksana dan Prognosis

Novie Amelia C; Gitta Reno Cempako; Endang Windiastuti

Collaboration


Dive into the Endang Windiastuti's collaboration.

Top Co-Authors

Avatar
Top Co-Authors

Avatar
Top Co-Authors

Avatar
Top Co-Authors

Avatar
Top Co-Authors

Avatar
Top Co-Authors

Avatar

Idham Amir

University of Indonesia

View shared research outputs
Top Co-Authors

Avatar
Top Co-Authors

Avatar
Top Co-Authors

Avatar
Top Co-Authors

Avatar
Researchain Logo
Decentralizing Knowledge